Selamat Tahun Baru 1 Muharam 1429 Hijriah
Akhir tahun kerapkali membawa kesedihan bagi siapa saja yang merasakan bahwa tahun yang akan pergi meninggalkan kita bersama pasti tidak akan kembali. Awal tahun juga menandakan optimisme bahwasanya tahun depan akan mengantarkan masa depan yang lebih baik dan sekaligus sebagai pengobat kegagalan akan harapan masa lalu. Begitulah “hipnotisme” yang disajikan setiap mengantarkan kepergian tahun yang lama dan menyambut tahun yang baru.
Ini merupakan bagian dari sebuah fenomena yang telah mengkomunal. Beragam aktivitas menyambut kedatangan tahun baru diselenggarakan, mulai dari kegiatan peringatan keagamaan sampailah pada peringatan yang bersifat hura-hura. Tetapi berbeda dengan kegiatan akhir tahun yang jarang sekali tersentuh oleh banyak kalangan. Refleksi akhir tahun terkadang hanya dilakukan evaluasi yang bersifat individu, jarang sekali ditemui evaluasi akhir tahun. Padahal kenyataannya problem-problem sosial itu melibatkan manusia secara komunal yang juga membutuhkan evaluasi secara bersama-sama.
Dengan sedemikian kompleknya fenomena yang muncul tersebut mengharuskan terjadinya polarisasi pada setiap aktivitas, baik secara individu maupun masyarakat. Tahun baru hijriah yang sangat identik dengan proses perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW, sudah seharusnya menjadi acuan dasar guna berhijrah secara action dalam segala hal.
Refleksi tahun baru hijriah kali ini harus memberikan motivasi yang kuat bagi terciptanya masyarakat yang lebih baik di masa yang akan datang. Sebagai salah satu komunitas yang tetap konsisten terhadap kajian-kajian demokrasi dan keislaman, kami dari Komunitas Bengkel Intelektual (KBI) mengucapkan Selamat tahun baru 1 Muharam 1429 hijriah. Mudah-mudahan tahun baru hijriah kali ini membawa kita pada perubahan yang lebih baik.
Oase : Refleksi Tahun Baru Islam 1430 H
Diposkan oleh Radio Elshifa 96.6 FM on 16:38
Label: Oase
Oleh : muhtar fatony wahyuddin *
Beberapa saat yang lalu kita telah memasuki tahun baru Islam 1430 H/tahun baru masehi 2009. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Hari berganti hari, ia berputar menggenapkan hitungan minggu, menyempurnakan bilangan bulan, dan lengkaplah menjadi tahun. Silih berganti seiring pergantian siang dan malam.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal.”
(QS. Ali Imraan [3]: 191).
Allah SWT ingin menyapa kita dengan ayat-ayat-Nya. Allah ingin mengajari kita dengan tanda-tanda kekuasaan-Nya. Sedemikian Allah sayangnya kepada kita sehingga Dia hamparkan fenomena jagad raya ini sebagai pintu penyadaran akan perwujudan-Nya, keberadaan-Nya, Kekuasaan-Nya, Kerajaan-Nya, dan Ketetapan-Nya. Allah ingin membahasakan akan Diri-Nya kepada kita. Bahwa Dia-lah sesungguhnya yang memliki semua ini. Dialah yang meninggikan langit tanpa tiang. Dialah yang mengedarkan bintang gemintang. Dialah yang menguasai galaksi-galaksi, menetapkan hidup dan mati, menghamparkan bumi, dan menjadikan matahari sebagai pusat tata surya.
“ Demi matahari dan sinarnya di pagi hari”
“ Demi bulan apabila ia mengiringi“
“ Demi siang apabila ia menampakkan diri”
“ Demi malam apabila ia menutupi”
“ Demi langit serta binaannya”
“ Demi bumi serta penghamparannya “
“ Demi jiwa dengan segala penyempurnaan (ciptaann)-Nya”
“Allah mengilhami sukma, keburukan dan kebaikan”
“Beruntunglah siapa yang membersihkannya, rugilah siapa yang mengotorinya”
(QS. As-Syams [91]: 1-10).
Subhanallah. Satu pelajaran yang sungguh indah dan menakjubkan. Sungguh mempesona dan menyadarkan. Menyadarkan jiwa-jiwa yang telah kelu dengan liku-liku dunia, perhiasan dan permainan yang sekejap sementara. Menyadarkan hati-hati yang telah kering kerontang dengan debu-debu noktah keputusasaan dan kemaksiatan. Menyadarkan akal fikiran yang telah terbelenggu dengan kebanggaan diri dan kerdilnya nurani. Menyadarkan akan tingkah yang selama ini justru kita semakin tak mampu membaca ayat-ayat ciptaan-Nya. Menyadarkan akan hakekat-Nya bahwa Dialah Sang pemilik waktu, penentu batas umur, pemilik kehendak, pengatur takaran rizki, penggenggam taqdir perjalanan hidup ummat manusia.
Allah sesungguhnya hanya ingin menyadarkan dengan ayat ini, dengan bahasa yang sangat sederhana, dengan tanda yang ada di depan kelopak mata kita; wahtilaafil laili wan nahaari, pergantian malam dan siang, hingga menjadi perubahan hari demi hari, pergantian bulan dan semakin bertambahnya angka-angka bilangan tahun, agar kita bisa melihat langsung, merasakan tanpa perantara dan penghubung, yang setiap hari mendetakkan hati dan fikiran untuk merenung, tanda-tanda untuk bisa dan mudah kita baca. Kita baca dari tulisan ayat-Nya yang tersurat dan tersirat. Kita baca dengan nama Allah yang menciptakan semua ini.
Iqra’!. (=bacalah), bismirabbikalladzii khalaq (=dengan nama Tuhan-Mu Yang menciptakan). (QS. Al-Alaq [96]: 1]
Bacalah. Bacalah dengan nama Tuhan-Mu. Renungkanlah. Renungkanlah dalam batas kefitrahan jiwamu. Fikirkanlah. Fikirkanlah dengan kejernihan akalmu. Sadarilah. Sadarilah bersama kekuatan hatimu. Agar ayat-ayat ini membuka tabir akan hakekat diri-dirimu. Karena Tuhan-mu itu akan engkau tahu jika engkau tahu pula tentang dirimu. Man arrafa nafsahu arafa rabbahu. Ingatlah ungkapan Hatim Al Asham Rahimahullah, “Sesungguhnya Allah tidak melihat tua dan muda kalian. Tapi Allah memandang siapa diantara kalian yang paling mengenal-Nya. Maka kenalilah Allah dan bertawakallah kepada-Nya”. Ingatlah pula perkataan Ibnul Jauzi dalam Shaidu al Khathir, “Ketauhilah bahwa jalan menuju Allah tidak ditempuh dengan langkah-langkah kaki, melainkan ditempuh dengan hati.”
Saudaraku,
Pergantian tahun kali ini sejatinya adalah bagian yang tak terpisahkan dari takdir ketetapan ilahi. Memaknakan tentang takdir kita yang telah ditetapkan bahwa kita masih diberi umur, walaupun jika umur kita hanya sampai saat ini, sampai detik ini. Pergantian tahun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diskursus tentang waktu, tentang umur dan kesempatan kita, tentang nilai-nilai kita, prestasi-prestasi kita –bukan sekedar di hadapan manusia-, tetapi tentang prestasi kita di hadapan Allah Azza Wajalla Yang Maha Menatap dan Melihat setiap saat. Menilai dan mencatat setiap gerak bahkan gerak hati kita. Sebab seorang yang beriman ia menatap fenomena dengan pandangan keimanan. Bukan dengan nafsu syaithani, bahkan dengan hinanya birahi, bukan pula dengan kesombongan dan keangkuhan, kemewahan dan kesia-siaan, bahkan kemaksiyatan dan tingkah durjana.
Seorang yang shalih ia akan memandang pergantian siang dan malam, pergantian tahun demi tahun ini, dengan kedalaman hatinya. Hati yang fitri dan bersinar terang. Laksana mentari yang menyinarinya menapak dan berjalan. Sehingga ia akan semakin mendekat dan merapat kepada Yang Maha Melihat. Bukan dengan tanpa arti, tanpa makna, tanpa ilmu dan tanpa hikmah. Ia akan semakin memahami tentang makna hidup, makna waktu, makna umur, dan makna nilai-nilai serta prestasi-prestasi kita. Karena yang bisa memahami hanyalah hati dengan bimbingan Rabbani. Dari hati yang bersemayam ma’rifah (menganal Allah) itulah, ia akan menghembuskan energi keyakinan yang kokoh dan dahsyat. Keyakinan tentang perjalanan-perjalanannya menuju negeri yang kekal nan abadi. Keyakina tentang arah dan tujuan hidup ini. Keyakinan tentang mengapa kita ada. Keyakina tentang siapa yang membuat kita ada. Tentang perjalanan selama kita ini ada, dari tak ada menjadi ada, dari tak bisa apa-apa menjadi bisa apa-apa. Dari tak punya apa-apa menjadi punya apa-apa. Dari tak mampu apa-apa menjani bisa berpuat apa saja.
Inilah keyakinan. Buah dari mengenal Allah dengan wasilah (perantara) tanda-tanda fakta penciptaan-Nya. Dan hari ini adalah bagian dari tanda-tanda yang Allah gariskan itu. Pergantian tahun adalah bagian dari tanda-tanda-Nya. Tanda-tanda inilah yang membuat kita bisa mengenal. Mengenal diri kita, mengenal perjalanan usia kita, mengenal yang mencipta kita dan meyakininya. Sebagaimana keyakina Nabi Musa AS ketika berjumpa Khaliq-Nya di Bukit Thursina, atau keyakinan Nabiyullah Ibrahim AS ketika menyaksikan empat burung dara dicincang dan hidup kembali atas perintah dan kehendah Allah. Atau keyakinan Baginda Nabi Muhammad SAW ketika dikukuhkan kenabian di Gua Hira di malam nuzulnya Al-Qur’a.
Kenalilah Hidupmu ini sebagai Sebuah Perjalanan Hijrah
Sekarang, mari kita mulai memaknakan perjalanan hijrah ini. Sebagaimana kedalaman makna dan kedalaman rahasia mengapa ketetapan Tahun baru Islam dimulakan dari kisah monumental tahun peristiwa hijrah nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah Al-Munawwarah. Mengapa bukan tahun kelahiran Nabi SAW, mengapa bukan tahun saat didaulat menjadi Nabi?, atau mengapa bukan pada saat Al-Qur’an pertama kali nuzul?, Atau terjadinya Perang Badar Kubro? Atau pada saat Futtuh Makkah (pembebasan kota Makkah). Umar bin Khaththab RA sebagai khalifah kedua waktu itu menyimpulkan bahwa karena peristiwa hijrah Nabi inilah sesungguhnya momentum terbesar dimana ummat Islam menjadi sebuah kesatuan yang berdaulat menjadi sebuah kekhilafahan yang utuh dan diakui secara hukum internasional.
Sekarang, mari kita lebih fokus dan lebih mendalami tentang hijrah kita, karena peristiwa hijrah sarat dengan inthiqal (perpindahan), erat kaitannya dengan perpindahan, perbaikan, kuat hubungannya dengan perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Hijrah berarti perpindahan dari kebiasaan mengkufuri nikmat-nikmat Allah menjadi hidup yang berbingkai syukur. Hijrah meninggalkan kekufuran menjadi keimanan, Hijrah berarti meninggalkan syirik menuju tauhid (hanya menunggalkan Allah), pindah dari kehidupan jahili kea rah yang islami, hijrah juga berarti perpindahan dari sifat-sifat munafik, plin-plan, mencla-mencle, inkonsistensi menjadi istiqamah, lurus dan berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran. Hijrah juga berarti berkomitmen kuat pada nilai kebenaran dan menjauhkan, meninggalkan kebatilan. Hijrah berarti meninggalkan apa saja bentuk-bentuk perbuatan, makanan, pakaian yang haram menjadi hidup yang bertabur kehalalan thayyiba. Dan hijrah adalah meninggalkan dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan maksiyat menuju ketaatan hanya kepada Allah SWT. Tinggalkan kedengkian, tinggalkan kemunafikan, tinggalkan korupsi, saling menjatuhkan sesama orang beriman, saling menghujat, tinggalkan kebodohan, kesia-siaan, tinggalkan kebiasaan hidup menjadi beban, tinggalkan kebohongan. Tinggalkan. Pergilah. Pergilah menuju perbaikan dan perubahan.
Bagai sang musafir di padang perjalanannya, kita semua ini adalah sang musafir kelana. Bahkan kita saat ini sedang di tengah-tengah perjalanan safar. Sebagaimana Rasulullah ungkapkan dalam haditsnya yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Ibnu Umar :
“ kun fid dunya ka annaka ghoriibun au ‘aabiri sabiili.”
Jadilah kalian di dunia ini sebagaimanan orang yang terasing atau bagai engkau dalam perjalanan musafir.
Bila kita sudah mempersiapkan diri untuk memulai berhijrah, berjalan, berpindah dan berubah. Kita akan menelusuri perjalanan hidup, hidup di jalan dakwah, perjalanan yang panjang dan berliku. Sebab itu ia harus senantiasa bergerak, tidak stagnan dan statis.Karena stagnan adalah gambaran kelemahan, bukti kita tak berdaya, dan pertanda kita tak mampu berkontribusi. Padahal Allah telah melengkapi seluruh instrument diri kita ini untuk siap berlomba, untuk menjadi juara, siap untuk menjadi pembelajar, petarung dan pemenang. Tidak ada yang indah pada sesuatu yang stagnan itu. Bergerak merupakan bentuk harmonisasi penciptaan yang luar biasa, sebagaimana harmonisasi beredarnya bintang gemintang, beredarnya bumi dan bulan. Sejenak saja kita berhenti melakukan perubahan dan perbaikan maka kita sedang menuju kehancuran. Dan ketika niat perjalanan ini telah dipancangkan, azzam (tekad) hijrah ini telah dikumandangkan. Maka bersiap-siaplah.
1. Arahkan tujuannya, pancangkan kemana akan pergi berhijrah. faina tadzhabuun (kemana engkau akan pergi). Pergilah menuju perbaikan, pergilah ke arah ketaatan, keimanan, keislaman, kebenaran, keadilah & kesejahteraan. Berangkatlah menuju kejujuran dan istiqamah. Pergilah menuju pemilik Kebenaran itu, berangkatlah menuju Yang Maha Adil. Pergilah menuju sumber ketenangan & sumber kesejahteraan. Pergilah kepada Al-Haqq, Al-Mudabbir (Yang Maha Mengatur), Ar-Rahman (Yang Maha Penyayang). Pergilah menuju kepada-Nya. Pergilah menuju Allah!....
2. Jangan kehabisan bekal. Itu pasti. Kita butuh bekalan. Perjalanan ini panjang dan menorehkan ragam romantika, ragam pesona, bahkan ragam duri-duri dan cobaan. Hidup kita ini tidak pernah keluar dari beberapa keadaan; nikmat dan karunia yang melahirkan syukur, musaibah dan bencana yang menuntut kita sabar. Hidup ini tidak lepas dari bentuk anugerah, ujian, cobaan bahkan peringatan dan adzab. Tidak ada bekalan yang layak melainkan bekalan keimanan dan taqwa.
Watazawwaduu wainna khoiroz zaadi at-Taqwaa. Fattaquuni yaa ulil albaab.
“Dan berbekallah, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal itu adalah taqwa. Dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”
وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ
3. Hati-hati ada perampok jalanan. Ia akan menghabisi bekalan kita tanpa belas kasihan. Tanpa ampun. Bahkan nyaris menjadikan manusia tidak lagi melanjutkan perjalanannya. Ia ada di sekeliling kita. Bahkan ada dalam diri kita. Renungkanlah baik-baik ungkapan Rasulullah SAW di tengah-tengah para sahabatnya:
“Bahwasanya Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat: Tahukah kalian siap sesungguhnya orang-orang yang bangkrut/merugi itu?. Sahabat menjawab: ‘Orang yang rugi itu adalah diantara kita yang tidak memiliki dirham dan perhiasan’. Maka RAsulullah bersabda: ‘Sesungguhnya orang-orang yang rugi itu adalah mereka yang datang pada hari kiamat dengan pahala shalatnya, puasa, zakat. Tetapi ia mencela, menuduh, memakan harta/kerupsi,, menunpahkan darah, memukul, akhirnya ia berikan kebaikann demi kebaikan itu untuk menebusnya hingga kebaikan itu sirna, lalu diberikanlah dosa-dosa mereka hingga kemudian ia dilemparkan ke dalam api yang menyala-nyala”.
(HR. Muslim dari Abu Hurairah RA)
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ رواه مسلم
4. Jangan terlena di tempat Istirahat. Memang perjalanan ini adakalanya kita mesti singgah. Ada peristirahatan-peristirahatan untuk sejenak kita duduk dan berbaring. Menikmati hidangan, menatap pemandangan. Dan sungguh pemandangan dunia ini teramat mempesonakan. Harta, wanita, jabatan dan popularitas. Tetapi ingatlah bahwa dunia ini bisa melalaikan, meninabobokkan.
وَأَنفِقُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوَاْ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
5. Awas Tertinggal rombongan. Perjalanan kita hijrah ini bagai kafilah musafir. Perubahan kita membutuhkan peran-peran kesolehan sahabat dan teman kita yang lain. Jangan pernah lepas dari kafilah ini. Sebab kekuatan pembekalan ini dipengaruhi pula oleh kekuatan kebersamaan kita. Kita tidk bisa sendirian. Kita butuh berjamaah.
فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ رواه أحمد
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِي أَوْ قَالَ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ضَلاَلَةٍ وَيَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ رواه الترمذي
“bergabunglah kalian dalam kafilah jamaah, karena sesungguhnya serigala itu akan menerkam domba yang sendirian.”
“Jamaah; jika kamu tidak bersama mereka, maka kamu tidak akan dapat bersama selain mereka, sementara mereka akan bersama selain kamu.”
Kullu ‘aam wa antum bikhair. Wallahu waliyuttaufiq.
*) Penulis adalah seorang Motivator Spiritual dan Direktur Radio Elshifa FM Subang.
Tahun Baru
Detak jarum terus berputar, hari berganti hari,
bulan demi bulan menjelang, tahun demi tahun
pun berlalu, seiring pergantian siang ke malam begitu
juga sebaliknya yang menandakan dunia sudah “RENTA” ini terus berkurang usianya dan tidak
terasa pula telah memasuki bulan Muharram, menandai datangnya kembali tahun yang baru 1430 H.
1430 tahun tonggak
sejarah peradaban dunia Islam yang penuh dengan tatanan nilai-nilai yang menjunjung tinggi moral ditancapkan oleh Manusia Agung sepanjang Masa, Rosululloh Muhamad SAW seiring Hijrahnya Rosululloh Muhamad SAW dari Mekah ke
Medinah.
Hijrahnya Rosululloh Muhamad SAW dari Mekah ke Medinah
yang dijadikan sistem penanggalan dalam kalender Islam bukanlah sekedar perpindahan fisik Beliau dari
satu kota ke kota lainnya,
melainkan lebih merupakan upaya untuk merubah tatanan
kehidupan jahiliyah kepada kehidupan yang berdasarkan nilai-nilai Ilahiyah, hingga Islam benar-benar menjadi kekuatan baru.
Yang bisa kita petik dari hijrahnya
Rosululloh Muhamad SAW dalam mengarungi sisa-sisa umur kehidupan di dunia
ini, tak lain kita jadikan Tahun
Baru Hijriyah sebagai momentum untuk merubah diri.
Berhijrah
dari kemusyrikan kepada ketauhidan, dari lupa pindah kepada mengingat Alloh
SWT.
Berhijrah dari pribadi yang jauh dari nilai-nilai Islami menuju Islam yang
Indah yang akan membawa kebahagian di dunia dan kebahagian di akhirat kelak.
Sudah saatnya kita evaluasi diri di tahun baru ini. Sejauh manakah kita
berupaya untuk senantiasa mengingat Alloh SWT di setiap waktu, setiap saat dan
setiap detak jantung kita. Insya Alloh Tahun baru kali ini menjadi lebih baik
dari tahun kemarin…
Hampir bersamaan dengan tahun baru Hijriyah, dalam hitungan beberapa hari ke
depan seluruh umat manusia di dunia akan merayakan tahun baru masehi, berikut
adalah sekilas tentang asal usul perayaan tahun baru masehi.
Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi maupun orang Kafir
yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September.
Selanjutnya
menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari.
Orang Kristen ikut merayakan Tahun Baru tersebut dan mereka mengadakan puasa
khusus serta ekaristi berdasarkan keputusan Konsili Tours pada tahun 567. Pada
mulanya setiap negeri mempunyai perayaan Tahun Baru yang berbeda-beda. Di
Inggris dirayakan pada tanggal 25 Maret. Di Jerman dirayakan pada hari Natal
sedangkan di Perancis dirayakan pada Hari paskah.
Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga
kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.
Bahan ini diambil dari:
Judul buku: Kamus Sejarah Gereja
Penulis : Drs. F.D. Wellem, M.Th.
Penerbit : BPK Gunung Mulia
Hal : 84
Jika kita mau memahami apa sih sebenarnya makna dari tahun baru baik itu
hijriyah maupun masehi? Coba luangkan sejenak membaca artikel-artikel di
internet atau media publikasi lain, mengenai bagaimana semangatnya mereka dalam
menyambut tahun baru yang segera menjelang. Sebagaimana konsep berpikir positip
yang memang seharusnya diambil, maka banyak rencana-rencana positip diberikan
untuk tahun mendatang. Bagaimana strategi baru agar marketing-nya sukses,
caranya agar dapat belajar efektif dengan lebih baik agar sekolahnya juga
sukses. Demikian juga pada diriku, aku tanamkan keyakinan bahwa aku harus
mencapai apa yang aku inginkan baik itu suatu karir yang bagus di perusahaan,
mewujudkan suatu rumah tangga yang sangat aku idam2kan selama ini, serta
keinginan2 lain di tahun mendatang.
Intinya adalah adanya harapan atau bagaimana memberi motivasi bahwa apapun
tantangan yang dihadapi di tahun mendatang ini dapat kita terjang demi
kesuksesan di tahun tersebut.
Tetapi jika kita mau menengok sejenak, di sisi lain, adanya tahun baru
menunjukkan bahwa manusia, sejak keberadaannya sampai hari ini ternyata masih
di bawah kendali waktu, hanya sebagai objek pasif. Atau dengan kata lain, bahwa
kita yang harus aktif menyesuaikan diri dengan kemauan waktu, kalau lengah maka
waktu akan meninggalkan kita dan hanya penyesalan yang akan kita hadapi.
Secara alami dalam diri kita akan terlihat tanda-tanda bahwa tubuh yang kita
tempati di dunia ini juga terpengaruh waktu. Lihat, dulu bagi sebagian orang
bahkan tidak mengenal apa itu namanya cat rambut, tetapi agar terlihat segar /
muda maka rambutnya yang sudah mulai memutih mencoba cat tersebut. Dulu rasanya
kalau ada makanan enak, ingin menghabiskannya, ternyata sekarang kita harus
melihat apakah makanan tersebut beresiko terhadap kolesterol atau apalah
namanya, dan sebagainya. Lebih jelasnya adalah kita pelan-pelan dan tanpa ribut
telah menuju apa yang namanya ketuaan, kepada ketidakberdayaan.
Dengan momentum tahun baru hijriyah maupun tahun baru masehi ini mari kita
semua belajar dan berjuang untuk menjadi manusia yang mempunyai motivasi dalam
kehidupan mendatang yang mungkin masih banyak tantangan yang harus kita hadapi.
Semoga
Alloh senantiasa memberikan kekuatan, keimanan, kesuksesan dan kelancaran
rezeki kepada kita dalam menjalani kehidupan di tahun2 mendatang.
Insya Alloh ini adalah hari kerja terakhirku di tahun 2008, aku ucapkan selamat
tahun baru buat semua saudaraku, calon isteriku, rekan kerja, teman, dan
sahabat2 yang aku cintai.. semoga tahun mendatang lebih baik dari tahun ini.
Sampai jumpa dengan renungan2 di tahun 1430 H / tahun 2008 M.
Selasa, 01 Desember 2009
Kamis, 08 Oktober 2009
penalarann
PENALARAN DEDUKSI DAN INDUKSI
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence). Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi.
Menurut Jujun Suriasumantri, Penalaran adalah suatu proses berfikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Sebagai suatu kegiatan berfikir penalaran memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri pertama adalah proses berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut pola tertentu atau dengan kata lain menurut logika tertentu. Ciri yang kedua adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Analisis pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.
Pengetahuan yang dipergunakan dalam penalaran pada dasarnya bersumber pada rasio atau fakta. Mereka yang berpendapat bahwa rasio adalah sumber kebenaran mengembangkan paham rasionalisme, sedangkan mereka yang menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme.
Penalaran ilmiah pada hakikatnya merupakan gabungan dari penalaran deduktif dan induktif. Dimana lebih lanjut penalaran deduktif terkait dengan rasionalisme dan penalaran induktif dengan empirisme. Secara rasional ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai fakta dengan yang tidak. Karena itu sebelum teruji kebenarannya secara empiris semua penjelasan
rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara, Penjelasan sementara ini biasanya disebut hipotesis. Penalaran deduktif dan penalaran induktif diperlukan dalam proses pencarian pengetahuan yang benar.
A. Penalaran Deduksi
Deduksi berasal dari bahasa Inggris deduction yang berarti penarikan kesimpulan dari keadaan-keadaan yang umum, menemukan yang khusus dari yang umum, lawannya induksi (Poerwadarminta, 2006)
Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. (Suriasumantri, 2005)
Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus. (www.id.wikipedia.com).
Metode berpikir deduksi sifatnya pasti. Metode ini dimulai dengan diterimanya suatu premis mayor. Contoh: “Semua manusia akan mati” (premis mayor). Kemudian, anggap kita memiliki premis minor: “Socrates adalah manusia”. Karena Socrates adalah manusia, maka Socrates memiliki sifat-sifat yang dimiliki semua manusia. Oleh karena itu, secara deduktif dapat disimpulkan bahwa Socrates juga akan mati. Dapat juga dikatakan bahwa deduksi bersifat tertutup karena kesimpulan yang diambil tidak boleh ditarik dari luar premis mayor. Asalkan semua premisnya benar, maka kesimpulan yang diambil secara deduktif juga akan benar.
Penalaran Matematika termasuk ke dalam penalaran deuksi karena bersifat pasti. Matematika bukanlah ilmu yang didasari atas percobaan dan pengamatan sehingga membuatnya dibedakan dengan sains. Perhatikan saja, apakah kebenaran 1+1=2 adalah sesuatu yang kita peroleh melalui percobaan dan pengamatan? Tentu tidak. Kebenaran 1+1=2 merupakan sesuatu yang kita terima begitu saja. Kalau begitu, bagaimana sejumlah teori matematika yang pernah ada dapat
muncul? Bagaimana tarikan logika agar kita dapat menyimpulkan bahwa suatu teori itu benar secara matematis?
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa penalaran matematika dimulai dari diterimanya kebenaran beberapa aksioma. Aksioma adalah suatu kebenaran yang dapat kita terima begitu saja (tanpa ada pembuktian apapun). Contoh: Aksioma bilangan bulat yang diusulkan oleh Guiseppe Peano (1858 - 1932). Aksioma tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa suatu bilangan bulat jika ditambahkan dengan 1 (satu), maka akan menghasilkan bilangan bulat pada urutan berikutnya. Contohnya, jika diambil angka “3″, maka jika angka tersebut ditambahkan dengan “1″, maka akan menghasilkan bilangan bulat berikutnya dari “3″, yaitu “4″.
Teorema matematika diturunkan dari satu atau irisan beberapa aksioma. Kebenaran teorema ini harus dapat dibuktikan berdasarkan hukum-hukum yang berlaku pada aksioma. Dengan kata lain, kesimpulan yang diambil pada pembuatan teorema tidak boleh keluar dari ruang lingkup aksioma yang berlaku.
Contoh teorema: Dua ditambah tiga sama dengan lima. Teorema ini dibuktikan (berdasarkan aksioma bilangan bulat oleh Peano) sebagai berikut: 2 + 3
<=> 2+2+1 (2 merupakan bilangan bulat sebelum 3)
<=> 2+1+1+1 (1 merupakan bilangan bulat sebelum 2)
<=> 3+1+1 (3 merupakan bilangan bulat setelah 2)
<=> 4+1 (4 merupakan bilangan bulat setelah 3)
<=> 5 (5 merupakan bilangan bulat setelah 4)
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence). Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi.
Menurut Jujun Suriasumantri, Penalaran adalah suatu proses berfikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Sebagai suatu kegiatan berfikir penalaran memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri pertama adalah proses berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut pola tertentu atau dengan kata lain menurut logika tertentu. Ciri yang kedua adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Analisis pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.
Pengetahuan yang dipergunakan dalam penalaran pada dasarnya bersumber pada rasio atau fakta. Mereka yang berpendapat bahwa rasio adalah sumber kebenaran mengembangkan paham rasionalisme, sedangkan mereka yang menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme.
Penalaran ilmiah pada hakikatnya merupakan gabungan dari penalaran deduktif dan induktif. Dimana lebih lanjut penalaran deduktif terkait dengan rasionalisme dan penalaran induktif dengan empirisme. Secara rasional ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai fakta dengan yang tidak. Karena itu sebelum teruji kebenarannya secara empiris semua penjelasan
rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara, Penjelasan sementara ini biasanya disebut hipotesis. Penalaran deduktif dan penalaran induktif diperlukan dalam proses pencarian pengetahuan yang benar.
A. Penalaran Deduksi
Deduksi berasal dari bahasa Inggris deduction yang berarti penarikan kesimpulan dari keadaan-keadaan yang umum, menemukan yang khusus dari yang umum, lawannya induksi (Poerwadarminta, 2006)
Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. (Suriasumantri, 2005)
Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus. (www.id.wikipedia.com).
Metode berpikir deduksi sifatnya pasti. Metode ini dimulai dengan diterimanya suatu premis mayor. Contoh: “Semua manusia akan mati” (premis mayor). Kemudian, anggap kita memiliki premis minor: “Socrates adalah manusia”. Karena Socrates adalah manusia, maka Socrates memiliki sifat-sifat yang dimiliki semua manusia. Oleh karena itu, secara deduktif dapat disimpulkan bahwa Socrates juga akan mati. Dapat juga dikatakan bahwa deduksi bersifat tertutup karena kesimpulan yang diambil tidak boleh ditarik dari luar premis mayor. Asalkan semua premisnya benar, maka kesimpulan yang diambil secara deduktif juga akan benar.
Penalaran Matematika termasuk ke dalam penalaran deuksi karena bersifat pasti. Matematika bukanlah ilmu yang didasari atas percobaan dan pengamatan sehingga membuatnya dibedakan dengan sains. Perhatikan saja, apakah kebenaran 1+1=2 adalah sesuatu yang kita peroleh melalui percobaan dan pengamatan? Tentu tidak. Kebenaran 1+1=2 merupakan sesuatu yang kita terima begitu saja. Kalau begitu, bagaimana sejumlah teori matematika yang pernah ada dapat
muncul? Bagaimana tarikan logika agar kita dapat menyimpulkan bahwa suatu teori itu benar secara matematis?
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa penalaran matematika dimulai dari diterimanya kebenaran beberapa aksioma. Aksioma adalah suatu kebenaran yang dapat kita terima begitu saja (tanpa ada pembuktian apapun). Contoh: Aksioma bilangan bulat yang diusulkan oleh Guiseppe Peano (1858 - 1932). Aksioma tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa suatu bilangan bulat jika ditambahkan dengan 1 (satu), maka akan menghasilkan bilangan bulat pada urutan berikutnya. Contohnya, jika diambil angka “3″, maka jika angka tersebut ditambahkan dengan “1″, maka akan menghasilkan bilangan bulat berikutnya dari “3″, yaitu “4″.
Teorema matematika diturunkan dari satu atau irisan beberapa aksioma. Kebenaran teorema ini harus dapat dibuktikan berdasarkan hukum-hukum yang berlaku pada aksioma. Dengan kata lain, kesimpulan yang diambil pada pembuatan teorema tidak boleh keluar dari ruang lingkup aksioma yang berlaku.
Contoh teorema: Dua ditambah tiga sama dengan lima. Teorema ini dibuktikan (berdasarkan aksioma bilangan bulat oleh Peano) sebagai berikut: 2 + 3
<=> 2+2+1 (2 merupakan bilangan bulat sebelum 3)
<=> 2+1+1+1 (1 merupakan bilangan bulat sebelum 2)
<=> 3+1+1 (3 merupakan bilangan bulat setelah 2)
<=> 4+1 (4 merupakan bilangan bulat setelah 3)
<=> 5 (5 merupakan bilangan bulat setelah 4)
penalaran
PENALARAN INDUKTIF DAN DEDUKTIF (Materi I)
Suatu penelitian pada hakekatnya dimulai dari hasrat keingintahuan manusia, merupakan anugerah Allah SWT, yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan maupun permasalahan-permasalahan yang memerlukan jawaban atau pemecahannya, sehingga akan diperoleh pengetahuan baru yang dianggap benar. Pengetahuan baru yang benar tersebut merupakan pengetahuan yang dapat diterima oleh akal sehat dan berdasarkan fakta empirik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencarian pengetahuan yang benar harus berlangsung menurut prosedur atau kaedah hukum, yaitu berdasarkan logika. Sedangkan aplikasi dari logika dapat disebut dengan penalaran dan pengetahuan yang benar dapat disebut dengan pengetahuan ilmiah.
Untuk memperoleh pengetahuan ilmiah dapat digunakan dua jenis penalaran, yaitu Penalaran Deduktif dan Penalaran Induktif.
Penalaran deduktif merupakan prosedur yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Metode ini diawali dari pebentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala.
Penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Dalam hal ini penalaran induktif merupakan kebalikan dari penalaran deduktif. Untuk turun ke lapangan dan melakukan penelitian tidak harus memliki konsep secara canggih tetapi cukup mengamati lapangan dan dari pengamatan lapangan tersebut dapat ditarik generalisasi dari suatu gejala. Dalam konteks ini, teori bukan merupakan persyaratan mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat mendiskripsikan gejala dan melakukan generalisasi.
Kedua penalaran tersebut di atas (penalaran deduktif dan induktif), seolah-olah merupakan cara berpikir yang berbeda dan terpisah. Tetapi dalam prakteknya, antara berangkat dari teori atau berangkat dari fakta empirik merupakan lingkaran yang tidak terpisahkan. Kalau kita berbicara teori sebenarnya kita sedang mengandaikan fakta dan kalau berbicara fakta maka kita sedang mengandaikan teori (Heru Nugroho; 2001: 69-70). Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah kedua penalaran tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dan saling mengisi, dan dilaksanakan dalam suatu ujud penelitian ilmiah yang menggunakan metode ilmiah dan taat pada hukum-hukum logika.
Upaya menemukan kebenaran dengan cara memadukan penalaran deduktif dengan penalaran induktif tersebut melahirkan penalaran yang disebut dengan reflective thinking atau berpikir refleksi. Proses berpikir refleksi ini diperkenalkan oleh John Dewey (Burhan Bungis: 2005; 19-20), yaitu dengan langkah-langkah atau tahap-tahap sebagai berikut :
• The Felt Need, yaitu adanya suatu kebutuhan. Seorang merasakan adanya suatu kebutuhan yang menggoda perasaannya sehingga dia berusaha mengungkapkan kebutuhan tersebut.
• The Problem, yaitu menetapkan masalah. Kebutuhan yang dirasakan pada tahap the felt need di atas, selanjutnya diteruskan dengan merumuskan, menempatkan dan membatasi permasalahan atau kebutuhan tersebut, yaitu apa sebenarnya yang sedang dialaminya, bagaimana bentuknya serta bagaimana pemecahannya.
• The Hypothesis, yaitu menyusun hipotesis. Pengalaman-pengalaman seseorang berguna untuk mencoba melakukan pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Paling tidak percobaan untuk memecahkan masalah mulai dilakukan sesuai dengan pengalaman yang relevan. Namun pada tahap ini kemampuan seseorang hanya sampai pada jawaban sementara terhadap pemecahan masalah tersebut, karena itu ia hanya mampu berteori dan berhipotesis.
• Collection of Data as Avidance, yaitu merekam data untuk pembuktian. Tak cukup memecahkan masalah hanya dengan pengalaman atau dengan cara berteori menggunakan teori-teori, hukum-hukum yang ada. Permasalahan manusia dari waktu ke waktu telah berkembang dari sederhana menjadi sangat kompleks; kompleks gejala maupun penyebabnya. Karena itu pendekatan hipotesis dianggap tidak memadai, rasionalitas jawaban pada hipotesis mulai dipertanyakan. Masyarakat kemudian tidak puas dengan pengalaman-pengalaman orang lain, juga tidak puas dengan hukum-hukum dan teori-teori yang juga dibuat orang sebelumnya. Salah satu alternatif adalah membuktikan sendiri hipotesis yang dibuatnya itu. Ini berarti orang harus merekam data di lapangan dan mengujinya sendiri. Kemudian data-data itu dihubung-hubungkan satu dengan lainnya untuk menemukan kaitan satu sama lain, kegiatan ini disebut dengan analisis. Kegiatan analisis tersebut dilengkapi dengan kesimpulan yang mendukung atau menolak hipotesis, yaitu hipotesis yang dirumuskan tadi.
• Concluding Belief, yaitu membuat kesimpulan yang diyakini kebenarannya. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pada tahap sebelumnya, maka dibuatlah sebuah kesimpulan, dimana kesimpulan itu diyakini mengandung kebenaran.
• General Value of The Conclusion, yaitu memformulasikan kesimpulan secara umum. Konstruksi dan isi kesimpulan pengujian hipotesis di atas, tidak saja berwujud teori, konsep dan metode yang hanya berlaku pada kasus tertentu – maksudnya kasus yang telah diuji hipotesisnya – tetapi juga kesimpulan dapat berlaku umum terhadap kasus yang lain di tempat lain dengan kemiripan-kemiripan tertentu dengan kasus yang telah dibuktikan tersebut untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Proses maupun hasil berpikir refleksi di atas, kemudian menjadi popular pada berbagai proses ilmiah atau proses ilmu pengetahuan. Kemudian, tahapan-tahapan dalam berpikir refleksi ini dipatuhi secara ketat dan menjadi persyaratan dalam menentukan bobot ilmiah dari proses tersebut. Apabila salah satu dari langkah-langkah itu dilupakan atau dengan sengaja diabaikan, maka sebesar itu pula nilai ilmiah telah dilupakan dalam proses berpikir ini.
http://ssantoso.blogspot.com/2008/08/penalaran-induktif-dan-deduktif-materi.html
Brilyanhati: contoh deduktif, jika meneliti konsumsi rumah tangga untuk minyak, maka sebelum turun ke lapangan yang dipersiapkan adalah teori konsumsi, permintaan dan penawaran barang, dll; pertanyaan yang akan diajukan sudah jeas dan hampir baku, sampelnya jelas, dll artinya sudah disiapkan semua tinggal cari data.
Kalau induktif, bisa jadi langsung ke lapangan untuk wawancara secara mengalir (contoh penelitian tentang konflik pilkada di desa X)artinya tidak perlu pakai kuesioner tapi tetapi menggunakan interview guide dan biasanya jenis pertanyaan terbuka dan di lapangan bisa berkembang.
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar.
Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence).
Penalaran
Saturday, 16 May 2009 11:08 Administrator
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar.
Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence). Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi.
Metode dalam menalar
Ada dua jenis metode dalam menalar yaitu induktif dan deduktif.
induktif
• Metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum.
• Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti.
• Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir induktif.
Metode deduktif
Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus.
Contoh: Masyarakat Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan (khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status sosial.
Bagian ini membutuhkan pengembangan
Konsep dan simbol dalam penalaran
Penalaran juga merupakan aktifitas pikiran yang abstrak, untuk mewujudkannya diperlukan simbol. Simbol atau lambang yang digunakan dalam penalaran berbentuk bahasa, sehingga wujud penalaran akan akan berupa argumen.
Kesimpulannya adalah pernyataan atau konsep adalah abstrak dengan simbol berupa kata, sedangkan untuk proposisi simbol yang digunakan adalah kalimat (kalimat berita) dan penalaran menggunakan simbol berupa argumen. Argumenlah yang dapat menentukan kebenaran konklusi dari premis.
Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa tiga bentuk pemikiran manusia adalah aktivitas berpikir yang saling berkait. Tidak ada ada proposisi tanpa pengertian dan tidak akan ada penalaran tanpa proposisi. Bersama – sama dengan terbentuknya pengertian perluasannya akan terbentuk pula proposisi dan dari proposisi akan digunakan sebagai premis bagi penalaran. Atau dapat juga dikatakan untuk menalar dibutuhkan proposisi sedangkan proposisi merupakan hasil dari rangkaian pengertian.
Syarat-syarat kebenaran dalam penalaran
Jika seseorang melakukan penalaran, maksudnya tentu adalah untuk menemukan kebenaran. Kebenaran dapat dicapai jika syarat – syarat dalam menalar dapat dipenuhi.
• Suatu penalaran bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang akan sesuatu yang memang benar atau sesuatu yang memang salah.
• Dalam penalaran, pengetahuan yang dijadikan dasar konklusi adalah premis. Jadi semua premis harus benar. Benar di sini harus meliputi sesuatu yang benar secara formal maupun material. Formal berarti penalaran memiliki bentuk yang tepat, diturunkan dari aturan – aturan berpikir yang tepat sedangkan material berarti isi atau bahan yang dijadikan sebagai premis tepat.
http://www.penalaran-unm.org/index.php/artikel-nalar/wacana/173.html?task=view
Suatu penelitian pada hakekatnya dimulai dari hasrat keingintahuan manusia, merupakan anugerah Allah SWT, yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan maupun permasalahan-permasalahan yang memerlukan jawaban atau pemecahannya, sehingga akan diperoleh pengetahuan baru yang dianggap benar. Pengetahuan baru yang benar tersebut merupakan pengetahuan yang dapat diterima oleh akal sehat dan berdasarkan fakta empirik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencarian pengetahuan yang benar harus berlangsung menurut prosedur atau kaedah hukum, yaitu berdasarkan logika. Sedangkan aplikasi dari logika dapat disebut dengan penalaran dan pengetahuan yang benar dapat disebut dengan pengetahuan ilmiah.
Untuk memperoleh pengetahuan ilmiah dapat digunakan dua jenis penalaran, yaitu Penalaran Deduktif dan Penalaran Induktif.
Penalaran deduktif merupakan prosedur yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Metode ini diawali dari pebentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala.
Penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Dalam hal ini penalaran induktif merupakan kebalikan dari penalaran deduktif. Untuk turun ke lapangan dan melakukan penelitian tidak harus memliki konsep secara canggih tetapi cukup mengamati lapangan dan dari pengamatan lapangan tersebut dapat ditarik generalisasi dari suatu gejala. Dalam konteks ini, teori bukan merupakan persyaratan mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat mendiskripsikan gejala dan melakukan generalisasi.
Kedua penalaran tersebut di atas (penalaran deduktif dan induktif), seolah-olah merupakan cara berpikir yang berbeda dan terpisah. Tetapi dalam prakteknya, antara berangkat dari teori atau berangkat dari fakta empirik merupakan lingkaran yang tidak terpisahkan. Kalau kita berbicara teori sebenarnya kita sedang mengandaikan fakta dan kalau berbicara fakta maka kita sedang mengandaikan teori (Heru Nugroho; 2001: 69-70). Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah kedua penalaran tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dan saling mengisi, dan dilaksanakan dalam suatu ujud penelitian ilmiah yang menggunakan metode ilmiah dan taat pada hukum-hukum logika.
Upaya menemukan kebenaran dengan cara memadukan penalaran deduktif dengan penalaran induktif tersebut melahirkan penalaran yang disebut dengan reflective thinking atau berpikir refleksi. Proses berpikir refleksi ini diperkenalkan oleh John Dewey (Burhan Bungis: 2005; 19-20), yaitu dengan langkah-langkah atau tahap-tahap sebagai berikut :
• The Felt Need, yaitu adanya suatu kebutuhan. Seorang merasakan adanya suatu kebutuhan yang menggoda perasaannya sehingga dia berusaha mengungkapkan kebutuhan tersebut.
• The Problem, yaitu menetapkan masalah. Kebutuhan yang dirasakan pada tahap the felt need di atas, selanjutnya diteruskan dengan merumuskan, menempatkan dan membatasi permasalahan atau kebutuhan tersebut, yaitu apa sebenarnya yang sedang dialaminya, bagaimana bentuknya serta bagaimana pemecahannya.
• The Hypothesis, yaitu menyusun hipotesis. Pengalaman-pengalaman seseorang berguna untuk mencoba melakukan pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Paling tidak percobaan untuk memecahkan masalah mulai dilakukan sesuai dengan pengalaman yang relevan. Namun pada tahap ini kemampuan seseorang hanya sampai pada jawaban sementara terhadap pemecahan masalah tersebut, karena itu ia hanya mampu berteori dan berhipotesis.
• Collection of Data as Avidance, yaitu merekam data untuk pembuktian. Tak cukup memecahkan masalah hanya dengan pengalaman atau dengan cara berteori menggunakan teori-teori, hukum-hukum yang ada. Permasalahan manusia dari waktu ke waktu telah berkembang dari sederhana menjadi sangat kompleks; kompleks gejala maupun penyebabnya. Karena itu pendekatan hipotesis dianggap tidak memadai, rasionalitas jawaban pada hipotesis mulai dipertanyakan. Masyarakat kemudian tidak puas dengan pengalaman-pengalaman orang lain, juga tidak puas dengan hukum-hukum dan teori-teori yang juga dibuat orang sebelumnya. Salah satu alternatif adalah membuktikan sendiri hipotesis yang dibuatnya itu. Ini berarti orang harus merekam data di lapangan dan mengujinya sendiri. Kemudian data-data itu dihubung-hubungkan satu dengan lainnya untuk menemukan kaitan satu sama lain, kegiatan ini disebut dengan analisis. Kegiatan analisis tersebut dilengkapi dengan kesimpulan yang mendukung atau menolak hipotesis, yaitu hipotesis yang dirumuskan tadi.
• Concluding Belief, yaitu membuat kesimpulan yang diyakini kebenarannya. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pada tahap sebelumnya, maka dibuatlah sebuah kesimpulan, dimana kesimpulan itu diyakini mengandung kebenaran.
• General Value of The Conclusion, yaitu memformulasikan kesimpulan secara umum. Konstruksi dan isi kesimpulan pengujian hipotesis di atas, tidak saja berwujud teori, konsep dan metode yang hanya berlaku pada kasus tertentu – maksudnya kasus yang telah diuji hipotesisnya – tetapi juga kesimpulan dapat berlaku umum terhadap kasus yang lain di tempat lain dengan kemiripan-kemiripan tertentu dengan kasus yang telah dibuktikan tersebut untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Proses maupun hasil berpikir refleksi di atas, kemudian menjadi popular pada berbagai proses ilmiah atau proses ilmu pengetahuan. Kemudian, tahapan-tahapan dalam berpikir refleksi ini dipatuhi secara ketat dan menjadi persyaratan dalam menentukan bobot ilmiah dari proses tersebut. Apabila salah satu dari langkah-langkah itu dilupakan atau dengan sengaja diabaikan, maka sebesar itu pula nilai ilmiah telah dilupakan dalam proses berpikir ini.
http://ssantoso.blogspot.com/2008/08/penalaran-induktif-dan-deduktif-materi.html
Brilyanhati: contoh deduktif, jika meneliti konsumsi rumah tangga untuk minyak, maka sebelum turun ke lapangan yang dipersiapkan adalah teori konsumsi, permintaan dan penawaran barang, dll; pertanyaan yang akan diajukan sudah jeas dan hampir baku, sampelnya jelas, dll artinya sudah disiapkan semua tinggal cari data.
Kalau induktif, bisa jadi langsung ke lapangan untuk wawancara secara mengalir (contoh penelitian tentang konflik pilkada di desa X)artinya tidak perlu pakai kuesioner tapi tetapi menggunakan interview guide dan biasanya jenis pertanyaan terbuka dan di lapangan bisa berkembang.
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar.
Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence).
Penalaran
Saturday, 16 May 2009 11:08 Administrator
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar.
Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence). Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi.
Metode dalam menalar
Ada dua jenis metode dalam menalar yaitu induktif dan deduktif.
induktif
• Metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum.
• Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti.
• Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir induktif.
Metode deduktif
Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus.
Contoh: Masyarakat Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan (khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status sosial.
Bagian ini membutuhkan pengembangan
Konsep dan simbol dalam penalaran
Penalaran juga merupakan aktifitas pikiran yang abstrak, untuk mewujudkannya diperlukan simbol. Simbol atau lambang yang digunakan dalam penalaran berbentuk bahasa, sehingga wujud penalaran akan akan berupa argumen.
Kesimpulannya adalah pernyataan atau konsep adalah abstrak dengan simbol berupa kata, sedangkan untuk proposisi simbol yang digunakan adalah kalimat (kalimat berita) dan penalaran menggunakan simbol berupa argumen. Argumenlah yang dapat menentukan kebenaran konklusi dari premis.
Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa tiga bentuk pemikiran manusia adalah aktivitas berpikir yang saling berkait. Tidak ada ada proposisi tanpa pengertian dan tidak akan ada penalaran tanpa proposisi. Bersama – sama dengan terbentuknya pengertian perluasannya akan terbentuk pula proposisi dan dari proposisi akan digunakan sebagai premis bagi penalaran. Atau dapat juga dikatakan untuk menalar dibutuhkan proposisi sedangkan proposisi merupakan hasil dari rangkaian pengertian.
Syarat-syarat kebenaran dalam penalaran
Jika seseorang melakukan penalaran, maksudnya tentu adalah untuk menemukan kebenaran. Kebenaran dapat dicapai jika syarat – syarat dalam menalar dapat dipenuhi.
• Suatu penalaran bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang akan sesuatu yang memang benar atau sesuatu yang memang salah.
• Dalam penalaran, pengetahuan yang dijadikan dasar konklusi adalah premis. Jadi semua premis harus benar. Benar di sini harus meliputi sesuatu yang benar secara formal maupun material. Formal berarti penalaran memiliki bentuk yang tepat, diturunkan dari aturan – aturan berpikir yang tepat sedangkan material berarti isi atau bahan yang dijadikan sebagai premis tepat.
http://www.penalaran-unm.org/index.php/artikel-nalar/wacana/173.html?task=view
Selasa, 06 Oktober 2009
TEORI BELAJAR BAHASA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. ( Moeliono, 1988 : 32 ).
Sedangkan kontrastif diartikan sebagai perbedaan atau pertentangan antara dua hal. Perbedaan inilah yang menarik untuk dibicarakan, diteliti. dan dipahami.
Secara khusus analisis kontrastif atau lebih populer disingkat anakon adalah kegiatan memperbandingkan struktur bahasa ibu atau bahasa pertama (Bl) dengan bahasa yang diperoleh atau dipelajari sesudah bahasa ibu yang lebih dikenal dengan bahasa kedua (B2) untuk mengidentifikasi perbedaan kedua bahasa tersebut.
Dalam makalah ini penyusun akan sedikit banyak memaparkan tentang pemerolehan bahasa dan analisis kontrastif, diantaranya pengertian analisis kontrastif, aspek psikologis dan linguistik analisis analisis kontrastif, dan kritik terhadap hipotesisi analisis kontrastif.
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa tercurah kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penyusunan makalah tentang “ Pemerolehan Bahasa dan Analisis kontrastif “ dalam rangka pencapaian materi Mata Kuliah Teori Belajar Bahasa di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jurusan Bahasa dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Terima kasih penyusun ucapkan kepada dosen mata kuliah Teori Belajar Bahasa dan rekan – rekan yang sudah senantiasa menyusun pikiran, tenaga, serta materi sehingga terselesaikannya makalah ini.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan kita tentang mata kuliah Teori Belajar Bahasa. Walaupun dalam penyusunan makalah ini diusahakan secara optimal dan sebaik mungkin, namun penyusun yakin bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, masih memiliki kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini.
Mudah-mudahan setelah makalah ini tersusun, dapat dimanfaatkan dan berguna bagi kita semua. Kritik dan saran yang membangun sangat penyusun harapkan untuk perbaikan makalah ini.
Bandar Lampung, Oktober 2009
Penyusun
PEMEROLEHAN BAHASA DAN ANALISIS KONTRASTIF
( Makalah Teori Belajar Bahasa )
Oleh :
DESTIANA
IKA PUSPITA APRIANI NPM
MALIDA DEWI
MOHAMMAD RIDWAN NPM
NELISA PUTRI UTAMI
NENENG SURYANI
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2009
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. ( Moeliono, 1988 : 32 ).
Sedangkan kontrastif diartikan sebagai perbedaan atau pertentangan antara dua hal. Perbedaan inilah yang menarik untuk dibicarakan, diteliti. dan dipahami.
Secara khusus analisis kontrastif atau lebih populer disingkat anakon adalah kegiatan memperbandingkan struktur bahasa ibu atau bahasa pertama (Bl) dengan bahasa yang diperoleh atau dipelajari sesudah bahasa ibu yang lebih dikenal dengan bahasa kedua (B2) untuk mengidentifikasi perbedaan kedua bahasa tersebut.
Dalam makalah ini penyusun akan sedikit banyak memaparkan tentang pemerolehan bahasa dan analisis kontrastif, diantaranya pengertian analisis kontrastif, aspek psikologis dan linguistik analisis analisis kontrastif, dan kritik terhadap hipotesisi analisis kontrastif.
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa tercurah kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penyusunan makalah tentang “ Pemerolehan Bahasa dan Analisis kontrastif “ dalam rangka pencapaian materi Mata Kuliah Teori Belajar Bahasa di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jurusan Bahasa dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Terima kasih penyusun ucapkan kepada dosen mata kuliah Teori Belajar Bahasa dan rekan – rekan yang sudah senantiasa menyusun pikiran, tenaga, serta materi sehingga terselesaikannya makalah ini.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan kita tentang mata kuliah Teori Belajar Bahasa. Walaupun dalam penyusunan makalah ini diusahakan secara optimal dan sebaik mungkin, namun penyusun yakin bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, masih memiliki kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini.
Mudah-mudahan setelah makalah ini tersusun, dapat dimanfaatkan dan berguna bagi kita semua. Kritik dan saran yang membangun sangat penyusun harapkan untuk perbaikan makalah ini.
Bandar Lampung, Oktober 2009
Penyusun
PEMEROLEHAN BAHASA DAN ANALISIS KONTRASTIF
( Makalah Teori Belajar Bahasa )
Oleh :
DESTIANA
IKA PUSPITA APRIANI NPM
MALIDA DEWI
MOHAMMAD RIDWAN NPM
NELISA PUTRI UTAMI
NENENG SURYANI
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2009
Selasa, 12 Mei 2009
fff
LAMPIRAN
Beberapa komentar mengenai pencalonan indonesia menjadi tuan rumah piala dunia 2018/2022
http://forum.fansbola.com/viewtopic.php?f=28&t=205&start=180&st=0&sk=t&sd=a&view=print
oleh wetwet
Tuan rumah Piala Dunia,
waduh..lagi2 PSSI bikin sensasi heboh
cita2 yg indah, optimisme yg patut dihargai..tapi sebelumnya, kapan PSSI dan kompetisi kita akan dibenahi sistem organisasinya?
oleh The_Exe
yah, peluang memang tetap ada, setidaknya memiliki jumlah penduduk terbesar didunia akan menjadi penilaian tersendiri bagi FIFA meski berat karena jika mengandalkan pengalaman menyelenggarakan piala asia (itupun msih keroyokan dgn 4 negara) belumlah bisa dijadikan patokan bhw kita bisa menyelenggarakan ajang sebesar piala dunia, kompetisi aj msih kacau, ngakunya sdh profesional tp msih ada klub yg mengandalkan APBD, belum lagi FIFA menuntut standar tertinggi untuk setiap aspek penyelenggaraan
http://spektrumku.wordpress.com/2009/02/16/indonesia-mengejar-tuan-rumah-piala-dunia-fifa-2022-mimpi-indah-yang-bakal-jadi-kenyataan/
• Mmm..dibanding dana yang besar digunakan untuk bangun stadion bertaraf internasional dan tetek bengek lainnya mending dipake untuk memejukan persepakbolaan nasional
Aria Turns dibahas juga di dalam Senin, 16 Februari 2009 pada 8:38 am | Balas
• keinginan menjadi tuan rumah
Piala Dunia 2020 itu patut
diacungi jempol….
tapi, saya yakin petinggi
FIFA dan anggota FIFA
lainnya pasti belum akan
merestui Indonesia sebagai
tuan rumah. Soalnya prestasi
sepakbola Indonesia, baru
sebatas hebat di bidang
keonaran melulu…
btw, sekali lagi…apapun
motivasinya keinginan PSSI
menawarkan diri jadi tuanrumah
patut diapresiasi dan
merupakan langkah inovatif
yg bakal bnyk sisi positifnya
menaikkan gengsi Indonesia
di mata dunia internasional
mikekono dibahas juga di dalam Senin, 16 Februari 2009 pada 10:40 am | Balas
Mengurusi kompetisi domestik bertahun-tahun saja gak becus, kok mau nggelar Piala Dunia. IMO sih layak diperjuangkan, toh FIFA yang memutuskan kelayakannya nanti. Saya cuma kurang sreg pada rencana penggelarannya yang rasanya tidak merata. Dari 13 stadion yang diajukan jadi arena; 7 ada di Jawa; dan yang paling timur cuma di Makassar. Kurang “Indonesia”…
jensen99 dibahas juga di dalam Senin, 16 Februari 2009 pada 11:52 am | Bala
• mending kalo udah bisa ikutan piala dunia, baru ngajuin jadi tuan rumah…
khofia dibahas juga di dalam Senin, 16 Februari 2009 pada 8:46 pm | Balas
• pemerintah tuh mau nya apa cih lah wong rakyatnya aja masih banyak yang kaga bisa beli beras nich malah mo bikin stadion yang banyak menguras dana,paling juga nantinya dananya pada masuk rekening tikus busuknya pemerintah
fens barunya kang yari ga mo pikir panjang langsung ngefans aja boleh kan dibahas juga di dalam Senin, 16 Februari 2009 pada 11:24 pm | Balas
• saya berani taruhan itu gak bakalan jadi…
PSSI cuma cari sensasi untuk mencari simpati masyarakat terkait kasus ketua umumnya….
Lagian gak mudah jadi tuan rumah piala dunia, fifa akan melihat dari banyak aspek untuk menyetujuinya..
junjung dibahas juga di dalam Selasa, 17 Februari 2009 pada 1:00 am | Balas
@Aria Turns
Mungkin PSSI ingin menangkat namanya lewat penyelenggaraan piala dunia karena menangkat namanya lewat prestasi yang juga sudah menelan biaya yang banyak selama ini tidak berhasil dan malah bikin ‘frustasi’. Huehehe……
@mantan kyai
PSSI mabuk PEPSI ya?? Entah berapa galon pepsi yang diminum sampai mabok gitu…
@mikekono
Memang betul sih, sebagai bangsa yang besar memang seharusnya kita jangan mengecilkan kemampuan bangsa sendiri. Namun begitu tentu hal tersebut juga harus diimbangi dengan program2 pengembangan persepakbolaan yang nyata, jelas dan terarah termasuk pengembangan2 prasarananya…..
@arifudin
Mari kita bangun dari mimpi…!! (maksudnya bangun ini, mimpinya dibuat kenyataan atau malah harus melupakan mimpi ya?? Hehehe….)
@junjung
Lah… memang bukannya begitu sifat bangsa Indonesia?? Yang penting ngetop dulu. Lihat aja di blogsfer kita, yang penting blog2 ramai dan populer (serta cari sensasi) dulu, masalah isi dan kualitas?? Itu sih nomer sejuta, bukan begitu?? Hehehe…
• Kalo lewat kompetisi kan susah untuk nembus quota Asia untuk piala dunia. Nah jalan pintas agar bisa lolos ke piala dunia adalah jadi tuan rumah. Nurdin bilang brasil, argentina yang scr ekonomi di bawah kita, bs jd tuan rumah. Lha dia lupa peringkat dunia kesebelasan mrk brp, kita brp?
waw dibahas juga di dalam Selasa, 17 Februari 2009 pada 1:33 pm | Balas
azizi
ah...
gila
ga mungkin kalle...
http://fans.bolanews.com/c/archive/index.php?t-2499.html
Mirjalovic
29 January 2009, 09:08
ibarangkali indonesia bisa sih
cuma idiot yang kirim lamaran tersebut,tapi gak punya kapasitas
n gw rasa,,PSSI emank rada2,tapi gak seidiot itulah
liat aja deh,,pssi penuh org eksentrik(klo kgk mau dibilang gila),,n kadang2 org seperti itu bisa dapat apa yang mereka inginkan
wong napi aja bisa jadi ketum http://kaskus.us/images/smilies/ngacir.gif
hitam-biru
29 January 2009, 20:06
Afsel aja yg secara ekonomi gak jauh beda dengan Indonesia (cuma berjarak 10 langkah di depan.. :D ) bisa ditunjuk jadi tuan rumah Piala Dunia 2010, Indonesia yg sudah membuktikan bisa jadi tuan rumah yg baik di edisi Piala Asia terakhir harusnya juga gak mau kalah donk.
tp yah.. jangan berharap terlalu tinggi lah, semakin tinggi angan2 kita melayang semakin keras jatuhnya nanti. berusaha aja diwujudkan step-by-step
Ann_at_Trigoria
30 January 2009, 13:10
haduhhh baru liat judul topiknya udah pusing duluan, hehehe...:mama:
Tuan Rumah PD?.... PD yang kapan?.... ahahahaaaa.... ;));))
ribet kalo di Indonesia kayaknya, secara kepulauan, hohohoho...
tapi seru juga tuh kalo benerannn, pertandingannya di tiap pulau di tiap kota yang punya lapangan bertaraf internasional, emang ada yang stadionnyahh?, ngebayangin lapangan di Bogor di pake buat PD, ga kebayanggg dahhh, Indonesia rakyatnya buanyakkkkk, bakal kayakkk semuutt, kasian yang maen bolanyahhh hihihihi..........:cape:
tapiiiiiiiiiiiii................ untuk waktu 50 tahun ke depan kayaknya ga mungkin dehhh... bikin monorail ajah kaga jadi2....
stadion yang bagus aja dikiiittt (yang gw tau GBK doang
Beberapa komentar mengenai pencalonan indonesia menjadi tuan rumah piala dunia 2018/2022
http://forum.fansbola.com/viewtopic.php?f=28&t=205&start=180&st=0&sk=t&sd=a&view=print
oleh wetwet
Tuan rumah Piala Dunia,
waduh..lagi2 PSSI bikin sensasi heboh
cita2 yg indah, optimisme yg patut dihargai..tapi sebelumnya, kapan PSSI dan kompetisi kita akan dibenahi sistem organisasinya?
oleh The_Exe
yah, peluang memang tetap ada, setidaknya memiliki jumlah penduduk terbesar didunia akan menjadi penilaian tersendiri bagi FIFA meski berat karena jika mengandalkan pengalaman menyelenggarakan piala asia (itupun msih keroyokan dgn 4 negara) belumlah bisa dijadikan patokan bhw kita bisa menyelenggarakan ajang sebesar piala dunia, kompetisi aj msih kacau, ngakunya sdh profesional tp msih ada klub yg mengandalkan APBD, belum lagi FIFA menuntut standar tertinggi untuk setiap aspek penyelenggaraan
http://spektrumku.wordpress.com/2009/02/16/indonesia-mengejar-tuan-rumah-piala-dunia-fifa-2022-mimpi-indah-yang-bakal-jadi-kenyataan/
• Mmm..dibanding dana yang besar digunakan untuk bangun stadion bertaraf internasional dan tetek bengek lainnya mending dipake untuk memejukan persepakbolaan nasional
Aria Turns dibahas juga di dalam Senin, 16 Februari 2009 pada 8:38 am | Balas
• keinginan menjadi tuan rumah
Piala Dunia 2020 itu patut
diacungi jempol….
tapi, saya yakin petinggi
FIFA dan anggota FIFA
lainnya pasti belum akan
merestui Indonesia sebagai
tuan rumah. Soalnya prestasi
sepakbola Indonesia, baru
sebatas hebat di bidang
keonaran melulu…
btw, sekali lagi…apapun
motivasinya keinginan PSSI
menawarkan diri jadi tuanrumah
patut diapresiasi dan
merupakan langkah inovatif
yg bakal bnyk sisi positifnya
menaikkan gengsi Indonesia
di mata dunia internasional
mikekono dibahas juga di dalam Senin, 16 Februari 2009 pada 10:40 am | Balas
Mengurusi kompetisi domestik bertahun-tahun saja gak becus, kok mau nggelar Piala Dunia. IMO sih layak diperjuangkan, toh FIFA yang memutuskan kelayakannya nanti. Saya cuma kurang sreg pada rencana penggelarannya yang rasanya tidak merata. Dari 13 stadion yang diajukan jadi arena; 7 ada di Jawa; dan yang paling timur cuma di Makassar. Kurang “Indonesia”…
jensen99 dibahas juga di dalam Senin, 16 Februari 2009 pada 11:52 am | Bala
• mending kalo udah bisa ikutan piala dunia, baru ngajuin jadi tuan rumah…
khofia dibahas juga di dalam Senin, 16 Februari 2009 pada 8:46 pm | Balas
• pemerintah tuh mau nya apa cih lah wong rakyatnya aja masih banyak yang kaga bisa beli beras nich malah mo bikin stadion yang banyak menguras dana,paling juga nantinya dananya pada masuk rekening tikus busuknya pemerintah
fens barunya kang yari ga mo pikir panjang langsung ngefans aja boleh kan dibahas juga di dalam Senin, 16 Februari 2009 pada 11:24 pm | Balas
• saya berani taruhan itu gak bakalan jadi…
PSSI cuma cari sensasi untuk mencari simpati masyarakat terkait kasus ketua umumnya….
Lagian gak mudah jadi tuan rumah piala dunia, fifa akan melihat dari banyak aspek untuk menyetujuinya..
junjung dibahas juga di dalam Selasa, 17 Februari 2009 pada 1:00 am | Balas
@Aria Turns
Mungkin PSSI ingin menangkat namanya lewat penyelenggaraan piala dunia karena menangkat namanya lewat prestasi yang juga sudah menelan biaya yang banyak selama ini tidak berhasil dan malah bikin ‘frustasi’. Huehehe……
@mantan kyai
PSSI mabuk PEPSI ya?? Entah berapa galon pepsi yang diminum sampai mabok gitu…
@mikekono
Memang betul sih, sebagai bangsa yang besar memang seharusnya kita jangan mengecilkan kemampuan bangsa sendiri. Namun begitu tentu hal tersebut juga harus diimbangi dengan program2 pengembangan persepakbolaan yang nyata, jelas dan terarah termasuk pengembangan2 prasarananya…..
@arifudin
Mari kita bangun dari mimpi…!! (maksudnya bangun ini, mimpinya dibuat kenyataan atau malah harus melupakan mimpi ya?? Hehehe….)
@junjung
Lah… memang bukannya begitu sifat bangsa Indonesia?? Yang penting ngetop dulu. Lihat aja di blogsfer kita, yang penting blog2 ramai dan populer (serta cari sensasi) dulu, masalah isi dan kualitas?? Itu sih nomer sejuta, bukan begitu?? Hehehe…
• Kalo lewat kompetisi kan susah untuk nembus quota Asia untuk piala dunia. Nah jalan pintas agar bisa lolos ke piala dunia adalah jadi tuan rumah. Nurdin bilang brasil, argentina yang scr ekonomi di bawah kita, bs jd tuan rumah. Lha dia lupa peringkat dunia kesebelasan mrk brp, kita brp?
waw dibahas juga di dalam Selasa, 17 Februari 2009 pada 1:33 pm | Balas
azizi
ah...
gila
ga mungkin kalle...
http://fans.bolanews.com/c/archive/index.php?t-2499.html
Mirjalovic
29 January 2009, 09:08
ibarangkali indonesia bisa sih
cuma idiot yang kirim lamaran tersebut,tapi gak punya kapasitas
n gw rasa,,PSSI emank rada2,tapi gak seidiot itulah
liat aja deh,,pssi penuh org eksentrik(klo kgk mau dibilang gila),,n kadang2 org seperti itu bisa dapat apa yang mereka inginkan
wong napi aja bisa jadi ketum http://kaskus.us/images/smilies/ngacir.gif
hitam-biru
29 January 2009, 20:06
Afsel aja yg secara ekonomi gak jauh beda dengan Indonesia (cuma berjarak 10 langkah di depan.. :D ) bisa ditunjuk jadi tuan rumah Piala Dunia 2010, Indonesia yg sudah membuktikan bisa jadi tuan rumah yg baik di edisi Piala Asia terakhir harusnya juga gak mau kalah donk.
tp yah.. jangan berharap terlalu tinggi lah, semakin tinggi angan2 kita melayang semakin keras jatuhnya nanti. berusaha aja diwujudkan step-by-step
Ann_at_Trigoria
30 January 2009, 13:10
haduhhh baru liat judul topiknya udah pusing duluan, hehehe...:mama:
Tuan Rumah PD?.... PD yang kapan?.... ahahahaaaa.... ;));))
ribet kalo di Indonesia kayaknya, secara kepulauan, hohohoho...
tapi seru juga tuh kalo benerannn, pertandingannya di tiap pulau di tiap kota yang punya lapangan bertaraf internasional, emang ada yang stadionnyahh?, ngebayangin lapangan di Bogor di pake buat PD, ga kebayanggg dahhh, Indonesia rakyatnya buanyakkkkk, bakal kayakkk semuutt, kasian yang maen bolanyahhh hihihihi..........:cape:
tapiiiiiiiiiiiii................ untuk waktu 50 tahun ke depan kayaknya ga mungkin dehhh... bikin monorail ajah kaga jadi2....
stadion yang bagus aja dikiiittt (yang gw tau GBK doang
Senin, 04 Mei 2009
DALE-CHALL
Formula Keterbacaan Dale-Chall
1.Pilih teks yang panjangnya berkisar 100-150 kata.
Beberapa tahun yang lalu orang menemukan kenyataan bahwa jika air bias disaring lewat lapisan pasir, maka banyak bahan kotoran dan sebahagian besar bakteri dapat dihindari. Jadi, banyak macam metode yang menggunakan pasir sebagai saringan yang diterapkan orang, termasuk di dalamnya metode yang memaksa air itu mengalir dengan bantuan tenaga mesin menurut kecepatan yang luar biasa hebatnya.
Metode yang paling lazim digunakan orang di dalam cara memurnikan air ialah dengan jalan klorisasi atau mencampur air dengan zat klor. Cara ini adalah metode yang paling murah, cepat dan efektif. Dari dua sampai delapan pon bahan klor kita sudah cukup mempunyai persediaan bahan campuran bagi sejuta gallon air. Jumlah klor ini pun sudah cukup mantap untuk memusnahkan sejumlah kuman-kuman yang berbahaya, yang kemungkinan besar berada di dalam air.
2.Hitung panjang rata-rata kalimat dengan membagi Jumlah kata = ( ) = ( )
Jumlah kalimat ( )
3.Hitung jumlah kata-kata sulit, yaitu kata-kata yang mempunyai 3 suku kata/lebih.
Jumlah kata-kata sulit (…….)
4.Hitung persentase kata-kata sulit dgn cara Jml kata-kata sulit = ( ) = ( )
Total kata ( )
5. Masukkan ke dalam rumus
= 0,1579 x persentase kata-kata sulit + 0.0496 x panjang rata-rata kalimat + 3,6365
= 0,1579 x ( ) + 0,0496 x ( ) = ( )
6.Gunakan table
Gunakan tabel berikut ini untuk mendapatkan Disesuaikan Nilai:
RAW SCORE Skor RAW ADJUSTED SCORE Skor disesuaikan
4.9 and Below Di bawah 4,9 dan Grade 4 and Below Di bawah kelas 4 dan
5.0 to 5.9 5.0 ke 5.9 Grades 5 - 6 Kelas 5 - 6
6.0 to 6.9 6.0 ke 6.9 Grades 7 - 8 Nilai 7-8
7.0 to 7.9 7.0 ke 7.9 Grades 9 - 10 Nilai 9 - 10
8.0 to 8.9 8.0 ke 8.9 Grades 11 - 12 Nilai 11 - 12
9.0 to 9.9 9.0 ke 9.9 Grades 13 - 15 (College) Nilai 13 - 15 (College)
10 and Above Di atas 10 dan Grades 16 and Above (College Graduate) Di atas 16 dan nilai (Graduate College)
1.Pilih teks yang panjangnya berkisar 100-150 kata.
Beberapa tahun yang lalu orang menemukan kenyataan bahwa jika air bias disaring lewat lapisan pasir, maka banyak bahan kotoran dan sebahagian besar bakteri dapat dihindari. Jadi, banyak macam metode yang menggunakan pasir sebagai saringan yang diterapkan orang, termasuk di dalamnya metode yang memaksa air itu mengalir dengan bantuan tenaga mesin menurut kecepatan yang luar biasa hebatnya.
Metode yang paling lazim digunakan orang di dalam cara memurnikan air ialah dengan jalan klorisasi atau mencampur air dengan zat klor. Cara ini adalah metode yang paling murah, cepat dan efektif. Dari dua sampai delapan pon bahan klor kita sudah cukup mempunyai persediaan bahan campuran bagi sejuta gallon air. Jumlah klor ini pun sudah cukup mantap untuk memusnahkan sejumlah kuman-kuman yang berbahaya, yang kemungkinan besar berada di dalam air.
2.Hitung panjang rata-rata kalimat dengan membagi Jumlah kata = ( ) = ( )
Jumlah kalimat ( )
3.Hitung jumlah kata-kata sulit, yaitu kata-kata yang mempunyai 3 suku kata/lebih.
Jumlah kata-kata sulit (…….)
4.Hitung persentase kata-kata sulit dgn cara Jml kata-kata sulit = ( ) = ( )
Total kata ( )
5. Masukkan ke dalam rumus
= 0,1579 x persentase kata-kata sulit + 0.0496 x panjang rata-rata kalimat + 3,6365
= 0,1579 x ( ) + 0,0496 x ( ) = ( )
6.Gunakan table
Gunakan tabel berikut ini untuk mendapatkan Disesuaikan Nilai:
RAW SCORE Skor RAW ADJUSTED SCORE Skor disesuaikan
4.9 and Below Di bawah 4,9 dan Grade 4 and Below Di bawah kelas 4 dan
5.0 to 5.9 5.0 ke 5.9 Grades 5 - 6 Kelas 5 - 6
6.0 to 6.9 6.0 ke 6.9 Grades 7 - 8 Nilai 7-8
7.0 to 7.9 7.0 ke 7.9 Grades 9 - 10 Nilai 9 - 10
8.0 to 8.9 8.0 ke 8.9 Grades 11 - 12 Nilai 11 - 12
9.0 to 9.9 9.0 ke 9.9 Grades 13 - 15 (College) Nilai 13 - 15 (College)
10 and Above Di atas 10 dan Grades 16 and Above (College Graduate) Di atas 16 dan nilai (Graduate College)
GUNNING FOG
FORMULA KETERBACAAN ROBERT-GUNNING
Langkah-langkah mengetahui tingkat keterbacaan
1.Ambil sebuah tulisan/wacana
Ada yang berbeda di malam tanggal 10 november di Surabaya 2008 di area komplek pemakaman umum Ngagel Surabaya.
Meski jam sudah menunjuk angka 12, suasana yang biasanya sepi sangat berbeda pada saat itu. Beberapa atribut band seperti Slank, Komunitas Rock NO WARS, dan Iwan Fals pun kerap terlihat.
2.Hitunglah jumlah kalimat yang ada pada wacana. = (………)
3.Hitunglah panjang kalimat dengan cara menghitung jumlah kata per kalimat.
Kalimat pertama=(….), kedua=(….), ketiga=(……), keempat=(….), kelima=(….), keenam=(….) dst.
4.Hitung jumlah rata-rata kata per kalimat. Total kata = (…….) = (……)
jml kalimat (…….)
5.Hitung jumlah kata-kata sulit, yaitu kata-kata yang terdiri dari 3 suku kata atau lebih, teapi tidak untuk kata ulang. = (……..)
6.Hitung persentase kata-kata sulit . Jml kata-kata sulit = (…….) = (…….)
Total kata (…….)
7.Jumlahkan poin ke-4 dan ke-6. lalu kalikan dengan 0,4. maka hasilnya disebut Fog Index. (……)+(……)x0,4 = (…………….)
Rentang Fog Index adalah dari 5-17. Fog Index di atas 7 dianggap oleg Gunning sebagai titik rawan. Tulisan (wacana) dengan Fog Index di atas 7 tergolong sulit untuk dibaca dan dipahami maksudnya. Wacana dengan Fog Index di atas 12 sudah gulung tikar dalam tempo satu tahun.
Langkah-langkah mengetahui tingkat keterbacaan
1.Ambil sebuah tulisan/wacana
Ada yang berbeda di malam tanggal 10 november di Surabaya 2008 di area komplek pemakaman umum Ngagel Surabaya.
Meski jam sudah menunjuk angka 12, suasana yang biasanya sepi sangat berbeda pada saat itu. Beberapa atribut band seperti Slank, Komunitas Rock NO WARS, dan Iwan Fals pun kerap terlihat.
2.Hitunglah jumlah kalimat yang ada pada wacana. = (………)
3.Hitunglah panjang kalimat dengan cara menghitung jumlah kata per kalimat.
Kalimat pertama=(….), kedua=(….), ketiga=(……), keempat=(….), kelima=(….), keenam=(….) dst.
4.Hitung jumlah rata-rata kata per kalimat. Total kata = (…….) = (……)
jml kalimat (…….)
5.Hitung jumlah kata-kata sulit, yaitu kata-kata yang terdiri dari 3 suku kata atau lebih, teapi tidak untuk kata ulang. = (……..)
6.Hitung persentase kata-kata sulit . Jml kata-kata sulit = (…….) = (…….)
Total kata (…….)
7.Jumlahkan poin ke-4 dan ke-6. lalu kalikan dengan 0,4. maka hasilnya disebut Fog Index. (……)+(……)x0,4 = (…………….)
Rentang Fog Index adalah dari 5-17. Fog Index di atas 7 dianggap oleg Gunning sebagai titik rawan. Tulisan (wacana) dengan Fog Index di atas 7 tergolong sulit untuk dibaca dan dipahami maksudnya. Wacana dengan Fog Index di atas 12 sudah gulung tikar dalam tempo satu tahun.
DAFT PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Soedarso. 2006. Speed Reading SISTEM MEMBACA CEPAT DAN EFEKTIF. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Tampubolon. 1987. KEMAMPUAN MEMBACA TEKNIK MEMBACA EFEKTIF dan EFESIEN. Bandung : Angkasa
Novia, windi. KAMUS LENGKAP BAHASA INDONESIA.Surabaya : Kashiko
Surabaya
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA. Jakarta : Balai Pustaka
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/2%20adrean_nababan_uns.pdf
:http://sawali.wordpress.com/2007/07/15/membangun%E2%80%9Cotonomi%E2%80%9D-pembelajaran-sastra/
http://read-herli.blogspot.com/2008/11/keterbacaan-buku-teks-pelajaran.html
elisa.ugm.ac.id/files/Arimi-Sailal/P1K1vgdE/BACA%20CEPAT%20VERSI%20BAHASA%20INDONESiA
http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&id=47772&src=a
http://suherlicentre.blogspot.com/2008/10/hut-70-tahun-profdryus-rusyana.html
http://www.readabilityformulas.com
http://en.wikipedia.org/wiki/SMOG
Soedarso. 2006. Speed Reading SISTEM MEMBACA CEPAT DAN EFEKTIF. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Tampubolon. 1987. KEMAMPUAN MEMBACA TEKNIK MEMBACA EFEKTIF dan EFESIEN. Bandung : Angkasa
Novia, windi. KAMUS LENGKAP BAHASA INDONESIA.Surabaya : Kashiko
Surabaya
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA. Jakarta : Balai Pustaka
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/2%20adrean_nababan_uns.pdf
:http://sawali.wordpress.com/2007/07/15/membangun%E2%80%9Cotonomi%E2%80%9D-pembelajaran-sastra/
http://read-herli.blogspot.com/2008/11/keterbacaan-buku-teks-pelajaran.html
elisa.ugm.ac.id/files/Arimi-Sailal/P1K1vgdE/BACA%20CEPAT%20VERSI%20BAHASA%20INDONESiA
http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&id=47772&src=a
http://suherlicentre.blogspot.com/2008/10/hut-70-tahun-profdryus-rusyana.html
http://www.readabilityformulas.com
http://en.wikipedia.org/wiki/SMOG
DAFT ISI
DAFTAR ISI Halaman
KATA PENGANTAR 1
BAB 1 ; PENDAHULUAN 1
A. Latar belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 1
BAB 2 : PENYAJIAN 2
1.Pengertian dan latar belakang sejarah keterbacaan.3
2.Kaitan keterbatasan dengan bahan ajar membaca7
3. Formula-formula keterbacaan8
4. Bacaan, Membaca, dan Keterbacaan9
5. Formula SMOG11
6. Hasil Studi Keterbacaan13
7. Bahasa Indonesia dalam Keterbacaan Buku Teks Pelajaran17
8. Keterbacaan Berdasarkan Karakteristik Siswa18
9. Keterbacaan Berdasarkan Penilaian Guru22
10. Profil Membaca Siswa24
11. TIPS Membaca Lebih Cepat28
12. menentukan teks keterbacaan30
13. Langkah-langkah Meneliti Keterbacaan32
14 . Beberapa Hasil Penelitian Keterbacaan33
KATA PENGANTAR 1
BAB 1 ; PENDAHULUAN 1
A. Latar belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 1
BAB 2 : PENYAJIAN 2
1.Pengertian dan latar belakang sejarah keterbacaan.3
2.Kaitan keterbatasan dengan bahan ajar membaca7
3. Formula-formula keterbacaan8
4. Bacaan, Membaca, dan Keterbacaan9
5. Formula SMOG11
6. Hasil Studi Keterbacaan13
7. Bahasa Indonesia dalam Keterbacaan Buku Teks Pelajaran17
8. Keterbacaan Berdasarkan Karakteristik Siswa18
9. Keterbacaan Berdasarkan Penilaian Guru22
10. Profil Membaca Siswa24
11. TIPS Membaca Lebih Cepat28
12. menentukan teks keterbacaan30
13. Langkah-langkah Meneliti Keterbacaan32
14 . Beberapa Hasil Penelitian Keterbacaan33
BENINGAN
PENGERTIAN KETERBACAAN
Keterbacaan adalah sesuai tidaknua suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukarannya. ( Tampubolon 1987 : 214 )
Keterbacaan : perihal dapat dibacanya teks secara cepat, mudah dimengerti, mudah dipahami, dan mudah diingat.(KBBI : 1998)
Keterbacaan adalah keseluruhan unsur bacaan yang memengaruhi keberhasilan yang dicapai oleh sekelompok pembaca dengan bahan tersebut (Hafni, 2001:13).
Keterbacaan adalah perihal dapat dibacanya teks secara cepat, mudah dimengerti, mudah dipahami, dan mudah diingat. (depdikbud : 1998)
Keterbacaan adalah perihal dapat dibacanya teks dengan cepat, mudah dipahami. ( novia, windi : 45 )
Keterbacaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran / kemudahan wacananya (Harjasujana, 1996 : 106).
Keterbacaan dalam istilah bahasa Inggris disebut readability. Keterbacaan itu adalah kemampuan untuk dibaca dari seluruh unsur yang ada dalam teks (termasuk di dalamnya interaksi antar-teks) dan berpengaruh terhadap keberhasilan pembaca dalam memahami materi yang dibacanya pada kecepatan membaca yang optimal (Dale & Chall dalam Gilliland, 1972).
MACAM-MACAM FORMULA KETERBACAAN
1. formula keterbacaan Flesch Grade Level
2. Formula keterbacaan Flesch Reading Ease
3. Formula keterbacaan FORCAST
4. Formula keterbacaan Grafik Fry
5. Formula keterbacaan Gunning’s Fog Index
6. Formula keterbacaan Dale-chall
7. Formula keterbacaan Powers-Sumner-Kearl
8. Formula keterbacaan SMOG
9. Formula keterbacaan SPACHE
FAKTOR YANG MEMENGARUHI KETERBACAAN
ada dua faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan yakni : Panjang pendek kalimat, dan tingkat kesulitan kata.
1. Keterpahaman Kalimat
Pemahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan kalimat dalam buku teks pelajaran bergantung pada keintiman kalimat tersebut dengan siswa. Artinya, jika kalimat-kalimat itu sudah sering dikenal oleh siswa maka akan semakin tinggi keterbacaan buku teks pelajaran tersebut. Namun, berbeda dengan hal ini, secara khusus untuk pelajaran Matematika suatu teks memiliki keterbacaan tinggi apabila kalimat tersebut disajikan secara efektif, lugas, jelas dan mengungkapkan makna atau tujuan yang dimaksudkan kalimat tersebut. Hal ini pula yang menjadi penentu kedua dari tingkat keterbacaan buku teks pelajaran.
2. Keterpahaman Kosakata
Pemahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan kosakata dalam buku teks pelajaran bergantung pada pengenalan mereka terhadap kosakata itu. Artinya, pemahaman mereka akan baik jika kosakata yang digunakan dalam buku Bahasa Indonesia, Sains, dan Pengetahuan Sosial itu secara berurutan sering didengar (21,40%), kosakata tersebut sudah dikenal (20,42%), dan sering digunakan (16,22%). Ini menunjukkan bahwa kondisi siswa SD pada umumnya memahami kosakata itu karena mereka sering mendengar, mengenal, dan sering menggunakan kosakata tersebut. Namun demikian, khusus untuk mata pelajaran Matematika justru tingkat pemahaman siswa terhadap kosakata yang digunakan karena kosakata tersebut sudah dikenal (23,0%) oleh mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Keterbacaan adalah sesuai tidaknua suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukarannya. ( Tampubolon 1987 : 214 )
Keterbacaan : perihal dapat dibacanya teks secara cepat, mudah dimengerti, mudah dipahami, dan mudah diingat.(KBBI : 1998)
Keterbacaan adalah keseluruhan unsur bacaan yang memengaruhi keberhasilan yang dicapai oleh sekelompok pembaca dengan bahan tersebut (Hafni, 2001:13).
Keterbacaan adalah perihal dapat dibacanya teks secara cepat, mudah dimengerti, mudah dipahami, dan mudah diingat. (depdikbud : 1998)
Keterbacaan adalah perihal dapat dibacanya teks dengan cepat, mudah dipahami. ( novia, windi : 45 )
Keterbacaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran / kemudahan wacananya (Harjasujana, 1996 : 106).
Keterbacaan dalam istilah bahasa Inggris disebut readability. Keterbacaan itu adalah kemampuan untuk dibaca dari seluruh unsur yang ada dalam teks (termasuk di dalamnya interaksi antar-teks) dan berpengaruh terhadap keberhasilan pembaca dalam memahami materi yang dibacanya pada kecepatan membaca yang optimal (Dale & Chall dalam Gilliland, 1972).
MACAM-MACAM FORMULA KETERBACAAN
1. formula keterbacaan Flesch Grade Level
2. Formula keterbacaan Flesch Reading Ease
3. Formula keterbacaan FORCAST
4. Formula keterbacaan Grafik Fry
5. Formula keterbacaan Gunning’s Fog Index
6. Formula keterbacaan Dale-chall
7. Formula keterbacaan Powers-Sumner-Kearl
8. Formula keterbacaan SMOG
9. Formula keterbacaan SPACHE
FAKTOR YANG MEMENGARUHI KETERBACAAN
ada dua faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan yakni : Panjang pendek kalimat, dan tingkat kesulitan kata.
1. Keterpahaman Kalimat
Pemahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan kalimat dalam buku teks pelajaran bergantung pada keintiman kalimat tersebut dengan siswa. Artinya, jika kalimat-kalimat itu sudah sering dikenal oleh siswa maka akan semakin tinggi keterbacaan buku teks pelajaran tersebut. Namun, berbeda dengan hal ini, secara khusus untuk pelajaran Matematika suatu teks memiliki keterbacaan tinggi apabila kalimat tersebut disajikan secara efektif, lugas, jelas dan mengungkapkan makna atau tujuan yang dimaksudkan kalimat tersebut. Hal ini pula yang menjadi penentu kedua dari tingkat keterbacaan buku teks pelajaran.
2. Keterpahaman Kosakata
Pemahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan kosakata dalam buku teks pelajaran bergantung pada pengenalan mereka terhadap kosakata itu. Artinya, pemahaman mereka akan baik jika kosakata yang digunakan dalam buku Bahasa Indonesia, Sains, dan Pengetahuan Sosial itu secara berurutan sering didengar (21,40%), kosakata tersebut sudah dikenal (20,42%), dan sering digunakan (16,22%). Ini menunjukkan bahwa kondisi siswa SD pada umumnya memahami kosakata itu karena mereka sering mendengar, mengenal, dan sering menggunakan kosakata tersebut. Namun demikian, khusus untuk mata pelajaran Matematika justru tingkat pemahaman siswa terhadap kosakata yang digunakan karena kosakata tersebut sudah dikenal (23,0%) oleh mereka dalam kehidupan sehari-hari.
MAKALAH KU
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil Alamin, puji syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Bahan Ajar Membaca dan Keterbacaan “ sebagai salah satu pemenuhan materi mata kuliah membaca II.
Terima kasih kami sampaikan kepada dosen pembimbing dan rekan – rekan yang telah membantu menyusun pikirannya demi tersusunnya makalah ini.
Dalam penulissan makalah ini penulis sadar bahwa dalam penyusunan masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
Bandarlampung, April 2009
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keterbacaan adalah sesuai tidaknua suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukarannya. ( Tampubolon 1987 : 214 )
Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata - kata atau bahasa tulis. ( TARIGAN 1979 : 7 ). Tidak sulit kalu hanya sekedar membaca. Semua orang yang pernah mengenyam pendidikan mayoritas bias membaca. Tetapi yang menjadi masalah adalah bagaimana cara membaca agar teks bacaan bias dibaca cepat, mudah dipahami, dan mudah diingat.
B. Rumusan Masalah
Latar belakang di atas, penulis bertolak dari merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian keterbacaan ?
2. Bagaimana cara menyikapi keterbacaan tersebut ?
C. Tujuan
Dalam penulisan makalah ini penulis tdak hanya sekedar menulis, tetapi setelah membaca makalah ini penuulis berharap pembaca agar :
1. Mengerti pengertian keterbacaan.
2. menjadi tahu bagaimana menyikapi keterbacaan tersebut .
BAB 2
PENYAJIAN
1.Pengertian dan latar belakang sejarah keterbacaan.
Keterbacaan : perihal dapat dibAcanya teks secara cepat, mudah dimengerti, mudah dipahami, dan mudah diingat.(KBBI : 1998)
Keterbacaan adalah keseluruhan unsur bacaan yang mempengaruhi keberhasilan yang dicapai oleh sekelompok pembaca dengan bahan tersebut (Hafni, 2001:13).
Keterbacaan adalah perihal dapat dibacanya teks secara cepat, mudah dim engerti, mudah dipahami, dan mudah diingat. (depdikbud : 1998)
Keterbacaan adalah perihal dapat dibacanya teks dengan cepat, mudah dipahami. ( novia, windi : 45 )
Keterbacaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran / kemudahan wacananya (Harjasujana, 1996 : 106).
Keterbacaan, menurut Richards et al (1985: 238), merujuk pada seberapa mudah teks tulis dapat dibaca dan dipahami oleh pembaca. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Dale dan Chall, bahwa keterbacaan merupakan keseluruhan unsur dalam sebuah teks tulis yang mempengaruhi keterpahaman pembaca (dalam Flood, 1984: 236). Kedua definisi keterbacaan itu dengan jelas menunjukkan bahwa ada dua faktor umum yang mempengaruhi keterbacaan sebuah teks, yaitu (1) unsur-unsur linguistik yang digunakan untuk menyampaikan pesan, dan (2) ketrampilan membaca para pembaca. Menurut Richards et al. (1985: 238), keterbacaan sebuah teks dapat diukur secara empirik, yang didasarkan pada panjang rata-rata kalimat, kompleksitas struktur kalimat, dan jumlah kata baru yang digunakan dalam teks. Hal yang sama juga dinyakatan oleh Sakri (1993: 135) bahwa keterbacaan tergantung kosa kata dan konstruksi kalimat yang digunakan oleh penulis dalam tulisannya. Nababan (2000: 317) menyebutkan faktor-faktor lainnya yang dapat mempengaruhi keterbacaan teks terjemahan: penggunaan kata asing dan daerah, penggunaan kata dan kalimat taksa, penggunaan kalimat tak lengkap, dan alur pikir yang tidak runtut. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/2%20adrean_nababan_uns.pdf
Keterbacaan merupakan pengukuran tingkat kesulitan sebuah buku atau wacana secara objektif tingkat terbacaan itu biasanya dinyatakan dengan peringkat ke 5 (Mushlisoh, 1995 : 183) dengan tingkat kemampuan pembaca, denga jalan mencocokan tingkat keterbacaan dengan tingkat kemampuannya, diharapkan pembaca tidak mengalami frustasi : minat bacanya akan berkembang terus.
Keterbacaan dalam istilah bahasa Inggris disebut readability. Keterbacaan itu adalah kemampuan untuk dibaca dari seluruh unsur yang ada dalam teks (termasuk di dalamnya interaksi antar-teks) dan berpengaruh terhadap keberhasilan pembaca dalam memahami materi yang dibacanya pada kecepatan membaca yang optimal (Dale & Chall dalam Gilliland, 1972).
Mc Laughin menambahkan bahwa keterbacaan itu berkaitan dengan pemahaman karena bacaan itu memiliki daya tarik tersendiri yang memungkinkan pembacanya terus tenggelam dalam bacaan.
Gilliland kemudian menyimpulkan keterbacaan itu berkaitan dengan tiga hal, yakni kemudahan, kemenarikan, dan keterpahaman. Kemudahan membaca berhubungan dengan bentuk tulisan, yakni tata huruf (topografi) seperti besar huruf dan lebar spasi. Kemudahan ini berkaitan dengan kecepatan pengenalan kata, tingkat kesalahan, jumlah fiksasi mata per detik, dan kejelasan tulisan (bentuk dan ukuran tulisan). Kemenarikan berhubungan dengan minat pembaca, kepadatan ide pada bacaan, dan keindahan gaya tulisan. Keterpahaman berhubungan dengan karakteristik kata dan kalimat, seperti panjang-pendeknya dan frekuensi penggunaan kata atau kalimat, bangun kalimat, dan susunan paragraf.
Selanjutnya, Klare (1984:726) menyatakan bahwa bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang baik akan memengaruhi pembacanya dalam meningkatkan minat belajar dan daya ingat, menambah kecepatan dan efisiensi membaca, dan memelihara kebiasaan membacanya.
Pada dasarnya, tingkat keterbacaan itu dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu melalui rumus/formula keterbacaan dan melalui respons pembaca (McNeill, et.al., 1980; Singer & Donlan, 1980). Formula keterbacaan pada dasarnya adalah instrumen untuk memprediksi kesulitan dalam memahami bacaan. Skor keterbacaan berdasarkan formula ini didapat dari jumlah kata yang dianggap sulit, jumlah kata dalam kalimat, dan panjang kalimat pada sampel bacaan yang diambil secara acak. Formula Flesch (1974), Grafik Fry (1977), dan Grafik Raygor (1984) menggunakan rumus keterbacaan yang hampir sama. Dari ketiga formula itu, Grafik Fry lebih populer dan banyak digunakan karena formula ini relatif sederhana dan mudah digunakan.
Tingkat keterbacaan wacana juga dapat diperoleh dari tes keterbacaan terhadap sejumlah pembaca dalam bentuk tes kemampuan memahami bacaan. Tes itu menguji apa yang disebutkan oleh Bernhardt (1991) sebagai ’enam faktor heuristic dalam pemahaman isi bacaan’. Tiga faktor berkaitan dengan teks (text driven), yaitu pengenalan kata, proses dekoding fonem-grafem, dan pengenalan sintaksis kalimat. Tiga faktor lain berhubungan dengan pengetahuan pembaca (knowledge driven), yaitu intra-textual perception, metacognition, dan prior knowledge. Ketiga faktor terakhir itu sifatnya tersembunyi dan tersirat, sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu.
Sementara itu, Gilliland (1972) menyebutkan lima cara mengukur tingkat keterbacaan, yakni penilaian subjektif, tanya jawab, formula keterbacaan, grafik & Carta, dan teknik cloze. Penilaian subjektif dilakukan oleh sejumlah orang tertentu – seperti guru, pustakawan, editor, dan kelompok pembaca berdasarkan pengamatan atas isi, pola, kosakata, format dan pengorganisasian suatu bacaan. Oleh karena sifatnya subjektif, keabsahan hasil penilaiannya bergantung pada keandalan para penilai. Jika penilai memiliki pengetahuan yang memadai tentang aspek-aspek keterbacaan, maka hasil penilaian biasanya memiliki validitas yang baik.
Kajian tentang keterbacaan itu sudah berlangsung berabad-abad namun kemajuannnya baru tampak setelah statistik mulai ramai digunakan, tekhnik statistik itu memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi faktor-faktor keterbacaan yang penting untuk menyusun formula yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan wacana menurut Klare (1963), kajian-kajian terdahulu menunjukan adanya keterkaitan dengan keterbacaan. Gray dan Leary mengidentifikasi adanya 289 faktor yang mempengaruhi keterbacaan, 20 faktor diantaranya dinyatakan signifikan.
Ada beberapa formula keterbacaan yang lajim digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan sebuah wacana-formula-formula keterbacaan yang terdahulu, memang bersifat kompleks dan menuntut pemakaiannya untuk memiliki kecermatan menghitung berbagai variabel, penelitian yang terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan yakni : Panjang pendek kalimat, dan tingkat kesulitan kata.
2.Kaitan keterbatasan dengan bahan ajar membaca
Tentang tingkat kemampuan membaca beregu terutama dalam metode pemberian tugas membaca, pemilihan buku tes atau bahan bacaan yang lainnya.
Perkembangan kelayakan tidak hanya didasarkan atas pertimbangan berbagai nilai diantara nya nilai isi, manfaat, pendidikan, moral, etika dan lain-lain, melainkan harus dipertimbangkan tingkat kesulitan dari masing-masing materi yang dimaksud. Bahan-bahan tersebut harus memenuhi tingkat keterbacaan sesuai dengan tuntutan dan karakter pembacanya.
Disamping itu penggunaan rumus-rumus keterbacaan akan sangat berguna bagi guru untuk mempersiapkan atau mengubah tingkat keterbacaan materi bacaan yang hendak diajarkannya. Tuntutan bagi setiap guru untuk dapat berperan dan bertindak sebagai penulis bukanlah pandangan keliru. Peran guru sebagai penulis tempat pada pekerjaan mempersiapkan tes, membuat rencana pengajaran. Menyusun program pengajaran dan lain-lain dalam mempersiapkan bahan-bahan tersebut guru hendaknya mempertimbangkan tingkat keterbacaan bahan yang akan ditulisnya.
Keterampilan mengubah tingkat keterbacaan wacana perlu dimiliki oleh guru. Pengubahan tersebut dapat dilakukan dengan meninggikan taraf kesulitan kesulitan wacananya atau menurunkan tingkat kesulitan wacana tersebut.
3. Formula-formula keterbacaan
1. formula keterbacaan Flesch Grade Level
2. Formula keterbacaan Flesch Reading Ease
3. Formula keterbacaan FORCAST
4. Formula keterbacaan Grafik Fry
5. Formula keterbacaan Gunning’s Fog Index
6. Formula keterbacaan Dale-chall
7. Formula keterbacaan Powers-Sumner-Kearl
8. Formula keterbacaan SMOG
9. Formula keterbacaan SPACHE
4. Bacaan, Membaca, dan Keterbacaan
Dalam literatur linguistik, teori membaca dikelompokkan berdasarkan tiga perspektif, yaitu perspektif kognitif, perspektif sosial, dan perspektif operasi teks-dan-pengetahuan (text-driven and knowledge-driven operation). Dalam padangan ahli kognitif, seorang pembaca adalah seperti sebuah komputer, ia memiliki pusat pemrosesan data yang terletak di dalam otaknya (Bernhardt, 1991: 8). Informasi yang didapat dari bacaan adalah input yang diolah oleh otak melalui beberapa tahapan dengan menggunakan hipotesis “jika…maka…”. Pemahaman akan didapat apabila hipotesis itu telah dapat dijawab pembaca. Dalam pandangan ini, pembaca dianggap sebagai seorang problem solver yang membangun hubungan objek dan makna di kepalanya yang merupakan internal representation dari masalah yang sedang dihadapi. Setiap orang dipastikan memiliki internal representation yang berbeda, sekalipun masalah yang dihadapinya sama. Menurut Bernhardt (1991), representasi internal ini merupakan output dari pusat pemrosesan itu. Output tersebut bukan merupakan duplikasi dari inputnya, melainkan intrapersonal conceptualisation atau pemahaman yang unik dari masing-masing individu pembaca.
Membaca juga memiliki fungsi sosial. Membaca adalah bagian dari budaya dan sekaligus membangun budaya. Sebuah teks bacaan adalah artefak sosial dan budaya yang memiliki nilai dan norma tertentu (Bernhardt, 1991: 13). Setiap masyarakat memiliki tatanan nilai dan norma yang unik dan berbeda dari masyarakat lainnya. Seorang pembaca yang efektif tidak memerhatikan aspek kebahasaan saja untuk memahami keseluruhan makna yang dibacanya tetapi juga menggunakan pengetahuannya tentang konteks bacaan, yaitu masyarakat dan budaya tempat teks itu dibuat.
Membaca juga merupakan perpaduan antara pemahaman bentuk dan makna. Ada dua cara memahami bacaan, yaitu memahami bacaan dengan menganalisis teks dan memahami berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Biasanya pembaca memadukan kedua cara ini dalam proses pemahamannya. Dalam istilah Bernhardt (1991), proses membaca demikian itu sifatnya “multidimensional and multivariate.” Teks itu sendiri ada yang terlihat (seen text) seperti yang terbaca oleh pembaca, dan teks ‘tersembunyi’ (unseen text) yang merupakan maksud penulis yang biasanya mengandung nilai sosial dan budaya. Oleh karena itu, Bernhardt (1991:73) mengingatkan bahwa dalam membaca tidak cukup memerhatikan kata, kalimat, dan paragraf saja, sekalipun tanpa unsur-unsur itu tidak akan terjadi proses membaca.
Selain aspek morfologi dan sintaksis, Bernhardt (1991:85) mengatakan bahwa struktur teks juga memengaruhi pemahaman seseorang pada bacaan. Dalam pandangannya, hal tersebut dinamakan “rhetorical organisation of texts”. Aspek tersebut cukup penting dalam memahami teks karena di dalam pengorganisasian teks inilah dapat diketahui gagasan dan argumentasi dari penulisnya.
Bernhardt (1991) menyebutkan ada enam faktor heuristic dalam pemahaman isi bacaan. Tiga faktor berkaitan dengan teks (text driven), yaitu pengenalan kata, proses dekoding fonem-grafem sebagai upaya pencarian makna, dan pengenalan sintaksis kalimat. Tiga faktor lain berhubungan dengan pengetahuan pembaca (knowledge driven), yaitu intratextual perception, metacognition, dan prior knowledge. Ketiga faktor terakhir itu sifatnya tersembunyi dan tersirat. Oleh karena itu, dalam mengetahui pemahaman suatu bacaan diperlukan ketepatan dalam memahami unsur linguistik yang berhubungan dengan teks, namun juga berhubungan dengan pengalaman pembaca.
5. Formula SMOG
Formula SMOG untuk Mengukur Keterbacaan
Sebagaimana telah diungkapkan bahwa beberapa formula pengukuran keterbacaan telah banyak diciptakan, namun pada umumnya didasarkan pada kondisi nyata dari suatu teks yang dibaca atau atas text driven. Formula yang memungkinkan digunakan untuk menakar keterbacaan bahan ajar adalah SMOG (Simplified Measure of Gobbledygook) yang dikembangkan McLaughlin di pendidikan dasar dan menengah.
Pengukuran keterbacaan dengan menggunakan Formula SMOG dimaksudkan untuk mengukur kesesuaian antara bacaan dengan usia pembaca. Formula SMOG dapat digunakan dengan mudah oleh para guru dalam memilih bahan bacaan. Formula ini dirancang untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang sangat sedikit (minimal 10 kalimat) hingga bacaan yang sangat panjang (yang dilakukan dengan menggunakan sampel).
Adapun langkah-langkah SMOG Test terdapat dua cara, yaitu:
Cara I
(digunakan untuk bacaan panjang yang lebih dari 30 kalimat) dengan tahapan sebagai berikut:
(1) Dari suatu bacaan yang akan diukur dipilih 10 kalimat pada bagian awal, 10 kalimat pada bagian tengah, dan 10 kalimat pada bagian akhir bacaan sehingga diperoleh 30 kalimat;
(2) Menghitung kosakata yang memiliki tiga sukukata atau lebih dari seluruh kalimat yang telah dipilih tersebut (dari 30 kalimat);
(3) Jumlah kosakata tersebut digunakan untuk mencari tingkat kesesuaian bacaan dengan usia siswa melalui Tabel Konversi SMOG I sebagai berikut:
Tabel:
Nilai Konversi SMOG I
3 Sukukata Tingkat Keterbacaan (Usia) Jumlah Total Kata yang 3 Sukukata Tingkat Keterbacaan (Usia)Jumlah Total Kata yang
0 - 2 4 57 - 72 11
3 - 6 5 73 - 90 12
7 - 12 6 91 - 110 13
13 - 20 7 111 - 132 14
21 - 30 8 133 - 156 15
31 - 42 9 157 - 182 16
43 - 56 10 183 - 210 17
211 - 240 18
Cara II
(digunakan untuk bacaan pendek, yaitu 10 sampai dengan 30 kalimat) dengan langkah-langkah sebagai berikut:
(1) Menghitung jumlah kalimat dalam bacaan tersebut;
(2) Menghitung jumlah kosakata yang memiliki tiga sukukata atau lebih;
(3) Menggunakan jumlah kalimat dari bacaan yang diukur untuk menentukan nilai konversi dalam Tabel Konversi SMOG II;
(4) Menjumlahkan kosakata yang memiliki tiga sukukata atau lebih dengan nilai konversi untuk menentukan tingkat keterbacaan pada Tabel SMOG I;
Berdasarkan langkah-langkah ini maka dapat dinyatakan bahwa cara pertama digunakan jika kalimat yang menjadi sampel pengukuran berjumlah 30 kalimat atau lebih, sedangkan cara kedua dilakukan untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang kurang dari 30 kalimat. Cara kedua ini memerlukan dua tabel konversi.
6. Hasil Studi Keterbacaan
Keterbacaan (readability) adalah seluruh unsur yang ada dalam teks (termasuk di dalamnya interaksi antarteks) yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembaca dalam memahami materi yang dibacanya pada kecepatan membaca yang optimal (Dale & Chall dalam Gilliland, 1972). Mc Laughin (1980) menambahkan bahwa keterbacaan itu berkaitan dengan pemahaman pembaca karena bacaannya itu memiliki daya tarik tersendiri yang memungkinkan pembacanya terus tenggelam dalam bacaan.
Gilliland (1972) kemudian menyimpulkan keterbacaan itu berkaitan dengan tiga hal, yakni kemudahan, kemenarikan, dan keterpahaman. Kemudahan membaca berhubungan dengan bentuk tulisan, yakni tata huruf (topografi) seperti besar huruf dan lebar spasi. Kemudahan ini berkaitan dengan kecepatan pengenalan kata, tingkat kesalahan, jumlah fiksasi mata per detik, dan kejelasan tulisan (bentuk dan ukuran tulisan). Kemenarikan berhubungan dengan minat pembaca, kepadatan ide pada bacaan, dan keindahan gaya tulisan. Keterpahaman berhubungan dengan karakteristik kata dan kalimat, seperti panjang-pendeknya dan frekuensi penggunaan kata atau kalimat, bangun kalimat, dan susunan paragraf.
Selanjutnya, Klare (1984:726) menyatakan bahwa bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang baik akan memengaruhi pembacanya dalam meningkatkan minat belajar dan daya ingat, menambah kecepatan dan efisiensi membaca, dan memelihara kebiasaan membacanya.
Pada dasarnya, tingkat keterbacaan itu dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu melalui formula keterbacaan dan melalui respons pembaca (McNeill, et.al., 1980; Singer & Donlan, 1980). Formula keterbacaan pada dasarnya adalah instrumen untuk memprediksi kesulitan dalam memahami bacaan. Skor keterbacaan berdasarkan formula ini didapat dari jumlah kata yang dianggap sulit, jumlah kata dalam kalimat, dan panjang kalimat pada sampel bacaan yang diambil secara acak. Formula Flesch (1974), Grafik Fry (1977), dan Grafik Raygor (1984) menggunakan rumus keterbacaan yang hampir sama. Dari ketiga formula itu, Grafik Fry lebih populer dan banyak digunakan karena formulanya relatif sederhana dan mudah digunakan.
Tingkat keterbacaan wacana juga dapat diperoleh dari tes keterbacaan terhadap sejumlah pembaca dalam bentuk tes kemampuan memahami bacaan. Tes itu menguji apa yang disebutkan oleh Bernhardt (1991) sebagai ’enam faktor heuristic dalam pemahaman isi bacaan’. Tiga faktor berkaitan dengan teks (text driven), yaitu pengenalan kata, proses dekoding fonem-grafem, dan pengenalan sintaksis kalimat. Tiga faktor lain berhubungan dengan pengetahuan pembaca (knowledge driven), yaitu intratextual perception, metacognition, dan prior knowledge. Ketiga faktor terakhir itu sifatnya tersembunyi dan tersirat, sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu.
Sementara itu, Gilliland (1972) menyebutkan lima cara mengukur tingkat keterbacaan, yakni penilaian subjektif, tanya jawab, formula keterbacaan, grafik & Carta, dan teknik cloze. Penilaian subjektif dilakukan oleh sejumlah orang tertentu –seperti guru, pustakawan, editor, dan kelompok pembaca berdasarkan pengamatan atas isi, pola, kosakata, format dan pengorganisasian suatu bacaan. Oleh karena sifatnya subjektif, keabsahan hasil penilaiannya bergantung pada keandalan para penilai. Jika penilai memiliki pengetahuan yang memadai tentang aspek-aspek keterbacaan, maka hasil penilaian biasanya memiliki validitas yang baik.
Penelitian tentang keterbacaan buku sudah berlangsung sejak tahun 1920-an, antara lain dilakukan oleh Lively dan Pressey yang menemukan formula keterbacaan berdasarkan struktur kata dan kalimat serta makna kata yang diukur dari frekuensi dan kelaziman pemakaiannya (Klare, 1984). Dale (dalam Tarigan, 1985) meneliti jumlah kosakata yang digunakan oleh anak-anak pembelajar pemula di Amerika Serikat. Sebanyak 1500 kata telah dikuasai mereka, terutama kosakata yang berhubungan dengan kata-kata yang digunakan sehari-hari. Memasuki tahun kedua, para siswa itu telah menguasai kosakata sejumlah 3000 kata. Penambahan kosakata setiap tahun sekitar 1000 kata, sehingga jumlah kosakata rata-rata bagi lulusan SMA sekitar 14000 kata, dan bagi mahasiswa sekitar 18000 sampai 29000 kata (Harris & Sipay dalam Zuchdi, 1995).
Hasil studi keterbacaan yang dilaksanakan oleh Tim Pusat Perbukuan tahun 2003-2004 menyimpulkan bahwa ciri-ciri penting dari suatu buku teks pelajaran untuk sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi dapat dilihat dari penggunaan aspek wacana, paragraf, kalimat, pilihan kata, dan pertanyaan atau latihan-latihan dalam buku teks pelajaran tersebut. Berdasarkan kajian terhadap aspek wacana, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi untuk siswa kelas satu sampai dengan kelas tiga jika disajikan dengan menggunakan wacana narasi, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam disajikan dengan menggunakan wacana deskripsi.
Berdasarkan kajian terhadap aspek paragraf dari penelitian itu, diketahui bahwa buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi adalah buku pelajaran yang disajikan dengan menggunakan paragraf-paragraf deduktif. Paragraf induktif dapat digunakan dalam meningkatkan pemahaman siswa kelas empat, lima, dan enam jika digunakan dalam wacana narasi.
Berdasarkan kajian terhadap aspek kalimat, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi bagi siswa kelas dua dan tiga adalah jika kalimat-kalimat yang digunakannya berupa kalimat sederhana, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam dapat menggunakan kalimat luas yang dapat meningkatkan pemahamannya secara lebih baik. Jika wacana yang digunakannya adalah wacana argumentasi, maka kalimat-kalimat sederhana dalam wacana tersebut dapat meningkatkan keterbacaan suatu buku pelajaran.
Berdasarkan kajian terhadap aspek penggunaan kata atau pilihan kata maka buku pelajaran sekolah dasar untuk siswa kelas satu sampai dengan tiga yang memiliki keterbacaan tinggi jika pada buku tersebut digunakan kosakata sederhana, memiliki sukukata sederhana, dan kosakatanya berhubungan dengan konteks social siswa. Penggunaan kosakata dalam buku pelajaran untuk siswa kelas empat sampai dengan enam sebaiknya menghindari penggunaan istilah-istilah khusus, asing atau bermakna konotatif.
Berdasarkan kajian terhadap pertanyaan bacaan atau latihan dalam buku teks pelajaran, diketahui bahwa buku pelajaran untuk sekolah dasar kelas satu sampai dengan kelas tiga sebaiknya menggunakan pertanyaan bacaan berbentuk isian terbatas, rumpang kata, atau melengkapi sebuah kata dalam konteks kalimat. Sementara itu, pertanyaan atau latihan untuk siswa kelas empat sampai dengan kelas enam dapat menggunakan pertanyaan, perintah, atau latihan yang menuntut pengembangan kemampuan berpikir logis dan kemampuan berpikir abstrak.
Dalam kaitan dengan pengukuran keterbacaan suatu bacaan atau buku teks pelajaran untuk sekolah dasar maka dapat dinyatakan bahwa formula SMOG dapat digunakan untuk memprediksi kesesuaian peruntukan suatu bacaan sebelum bacaan tersebut digunakan sebagai bahan ajar kepada para siswa sekolah dasar. Formula ini cukup sederhana dan dapat digunakan untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang paling sedikit terdiri atas 10 kalimat.
Pengukuran ahli atau guru terhadap keterbacaan suatu bahan bacaan hanya dapat dilakukan jika penilai (assessor) menguasai materi pelajaran yang akan diukur dan menguasai pula aspek-aspek kebahasaan yang digunakan dalam bacaan tersebut. Hasil pengukuran ini dapat digunakan untuk memprediksi tingkat keterbacaan, sebelum digunakan sebagai bahan ajar kepada peserta didik.
Pengukuran keterbacaan berdasarkan kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan pertanyaan bacaan merupakan pengukuran yang realistis. Hasil pengukuran dengan cara ini menghasilkan keterbacaan yang sesuai dengan hasil pengukuran dari formula SMOG dan penilaian ahli. Pengukuran jenis ini dianggap hasil pengukuran yang paling sesuai, karena dilakukan secara langsung kepada siswa sebagai pemakainya. Hasil pengukuran ini dapat digunakan sebagai indikator dari suatu bacaan yang memiliki keterbacaan tinggi.
7. Bahasa Indonesia dalam Keterbacaan Buku Teks Pelajaran
Berdasarkan kajian terhadap karakteristik siswa SD/MI yang ditinjau dari:
(1) jenis buku teks pelajaran yang digunakan (Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial);
(2) kewilayahan (Indonesia bagian Barat dan Timur);
(3) tingkatan pendidikan (kelas rendah/kelas 1 dan 2 dibandingkan dengan kelas tinggi, kelas 3,4,5, dan 6); serta (3) berdasarkan jenis kelamin siswa (laki-laki dan perempuan) diketahui informasi perkembangan bahasa Indonesia dalam kajian keterbacaan buku teks pelajaran terstandar. Selain itu, diperoleh pula informasi menarik tentang profil pengguna bahasa Indonesia dalam kegiatan berbahasa
8. Keterbacaan Berdasarkan Karakteristik Siswa
Dalam melakukan interaksi antara bacaan (berbahasa Indonesia) berdasarkan keterpahaman kosakata, kalimat, paragraf, jenis teks/bacaan; kemenarikan buku teks pelajaran; dan kemudahan dalam memahami sistematika penyajian diketahui sebagai berikut.
(a) Keterpahaman Kosakata
Pemahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan kosakata dalam buku teks pelajaran bergantung pada pengenalan mereka terhadap kosakata itu. Artinya, pemahaman mereka akan baik jika kosakata yang digunakan dalam buku Bahasa Indonesia, Sains, dan Pengetahuan Sosial itu secara berurutan sering didengar (21,40%), kosakata tersebut sudah dikenal (20,42%), dan sering digunakan (16,22%). Ini menunjukkan bahwa kondisi siswa SD pada umumnya memahami kosakata itu karena mereka sering mendengar, mengenal, dan sering menggunakan kosakata tersebut. Namun demikian, khusus untuk mata pelajaran Matematika justru tingkat pemahaman siswa terhadap kosakata yang digunakan karena kosakata tersebut sudah dikenal (23,0%) oleh mereka dalam kehidupan sehari-hari.
(b) Keterpahaman Kalimat
Pemahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan kalimat dalam buku teks pelajaran bergantung pada keintiman kalimat tersebut dengan siswa. Artinya, jika kalimat-kalimat itu sudah sering dikenal oleh siswa maka akan semakin tinggi keterbacaan buku teks pelajaran tersebut. Namun, berbeda dengan hal ini, secara khusus untuk pelajaran Matematika suatu teks memiliki keterbacaan tinggi apabila kalimat tersebut disajikan secara efektif, lugas, jelas dan mengungkapkan makna atau tujuan yang dimaksudkan kalimat tersebut. Hal ini pula yang menjadi penentu kedua dari tingkat keterbacaan buku teks pelajaran.
Hal yang harus diperhatikan bahwa keterbacaan buku teks pelajaran ditentukan pula oleh kesederhanaan kalimat yang digunakan. Semakin sederhana kalimat yang disusun dalam buku teks pelajaran maka akan semakin tinggi pula keterbacaan buku teks tersebut. Apabila dalam buku teks tersebut digunakan kalimat yang sulit atau belum dikenal siswa, maka keterbacaannya menjadi rendah. Namun, akan menjadi tinggi keterbacaannya jika kalimat tersebut diikuti dengan kalimat-kalimat atau uraian yang berfungsi sebagai penjelas serta kalimat tersebut sering didengar oleh para siswa, terutama pada mata pelajaran Pengetahuan Sosial.
(c) Keterpahaman Paragraf
Pemahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan paragraf dalam buku teks pelajaran bergantung pada letak gagasan utama dalam paragraf tersebut. Apabila dalam suatu paragraf menempatkan gagasan utama pada awal paragraf maka siswa lebih dapat memahami paragraf tersebut. Artinya, paragraf-paragraf yang disusun dengan menempatkan gagasan pokok atau pikiran utama pada awal paragraf lebih dapat dipahami siswa makna paragraf tersebut dan memiliki keterbacaan tinggi. Tingkat keterbacaan juga sangat ditentukan oleh ketersediaan gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut. Dengan demikian, selain menempatkan pikiran utama atau gagasan utama pada awal paragraf, kehadiran gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut dapat mempertinggi keterpahaman siswa terhadap paragraf yang digunakan.
(d) Keterpahaman Bacaan
Pada umumnya teks atau wacana yang digunakan dalam buku terstandar nasional dapat dipahami (64,55% atau 373 responden). Apabila ditinjau berdasarkan bentuk-bentuk wacana yang digunakan dikaitkan dengan karakteristik bacaan yang dianggap mudah dipahami siswa ditemukan bahwa alasan suatu teks/bacaan mudah dipahami jika bacaan tersebut disajikan dengan menggunakan bentuk wacana eksposisi dan narasi atau argumentasi.
Hal yang sangat menarik adalah jika ditinjau berdasarkan jenis mata pelajaran, diketahui bahwa kelompok mata pelajaran eksakta (Matematika dan Sains) bacaan yang mudah dipahami jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi dan argumentasi, sedangkan untuk kelompok mata pelajaran sosial (Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Sosial) jika disajikan dengan menggunakan wacana narasi dan eksposisi.
Apabila ditinjau berdasarkan tingkatan pendidikan, diketahui bahwa tingkat kemudahan dalam memahami teks/bacaan, maka berdasarkan siswa kelas rendah (1-2) suatu bacaan dianggap mudah dipahami jika bacaan tersebut disajikan dengan menggunakan wacana narasi dan eksposisi, sedangkan menurut kelas tinggi jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi dan argumentasi.
Berdasarkan klasifikasi jender responden, diketahui bahwa menurut siswa perempuan suatu teks mudah dipahami jika disajikan dengan menggunakan jenis wacana narasi dan eksposisi, sedangkan menurut siswa laki-laki jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi, narasi, dan argumentasi.
(e) Kemenarikan Penyajian Buku Teks Pelajaran
Berdasarkan kajian diketahui bahwa buku teks terstandar pada umumnya sangat menarik yang diungkapkan oleh 97% siswa yang menjadi responden. Adapun ketika dikonfirmasi kepada siswa alasan pernyataan tersebut dinyatakan bahwa buku teks pelajaran terstandar menarik karena menggunakan gambar atau ilustrasi yang memperjelas isi materi yang disajikan dan menggunakan huruf/bacaan yang jelas dan terbaca, serta bahasa yang mudah dipahami.
Kemenarikan buku teks pelajaran terstandar jika ditinjau berdasarkan karakteristik responden, alasan tersebut hampir sama, kecuali ketika responden diklasifikasikan berdasarkan tingkatan kelas. Responden kelas tinggi (kelas 3-6) menyatakan bahwa kemenarikan buku teks pelajaran terstandar adalah karena disajikan dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan menggunakan jilid dan gambar berwarna, sedangkan menurut responden kelas rendah (1-2) karena menggunakan gambar yang memperjelas isi dan menggunakan huruf yang terbaca dan jelas.
(f) Kemudahan Memahami Sistematika Penyajian
Berdasarkan sistematika penyajian buku teks pelajaran terstandar diketahui bahwa pada umumnya buku teks pelajaran itu mudah dipahami karena penyajian suatu materi tersebut disertai gambar, dikaitkan dengan pengetahuan siswa, dan disesuaikan dengan pengalaman siswa. Namun, apabila ditinjau berdasarkan jenis pelajaran diperoleh informasi bahwa penyajian buku teks pelajaran Bahasa Indonesia mudah dipahami karena materinya disesuaikan dengan pengalaman siswa. Penyajian buku teks pelajaran Pengetahuan Sosial dan Sains dianggap mudah dipahami karena penyajian materinya disertai gambar. Sementara itu, buku teks pelajaran Matematika dianggap mudah dipahami karena penyajian materi dalam buku tersebut dikaitkan dengan pengetahuan siswa.
http://read-herli.blogspot.com/2008/11/keterbacaan-buku-teks-pelajaran.html
9. Keterbacaan Berdasarkan Penilaian Guru
Berdasarkan pengalaman guru dalam menggunakan buku teks pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial diketahui bahwa rata-rata keterbacaan buku teks pelajaran Bahasa Indonesia memiliki tingkat keterbacaan sebesar 3,52. Buku teks pelajaran Matematika memiliki tingkat keterbacaan sebesar 3,71. Buku teks pelajaran Sains memiliki tingkat keterbacaan sebesar 3,68. Buku teks pelajaran Pengetahuan Sosial memiliki tingkat keterbacaan sebesar 3,22. Keterbacaan buku teks pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial berdasarkan penilaian guru-guru yang mengajar di wilayah Indonesia bagian Barat diketahui bahwa rata-rata keterbacaan buku teks pelajaran berstandar sebesar 3,67 sedangkan guru-guru di wilayah Indonesia bagian Timur 3,50.
Para guru memberikan penilaian terhadap keterbacaan buku teks pelajaran sekolah dasar yang berstandar dengan skor rata-rata sebesar 3,58 dari skor ideal 5,0. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum para guru menyatakan bahwa buku teks pelajaran berstandar memiliki kualitas keterbacaan yang tinggi. Hal ini dapat diketahui dari skor rata-rata nilai keterbacaan yang diberikan guru berkaitan dengan pengalamannya dalam kegiatan pembelajaran, pada umumnya di atas skor rata-rata nilai keterbacaan. Hanya penilaian ini dianggap kurang komprehensif karena dilakukan berdasarkan buku-buku Sekolah Dasar berstandar nasional yang digunakan di sekolah tersebut.
Hasil penilaian yang dilakukan guru ini selanjutnya dilakukan justifikasi oleh peneliti melalui desk study dengan melakukan random sampling terhadap 37 buku teks pelajaran Sekolah Dasar yang berstandar nasional. Berdasarkan kajian desk study diketahui bahwa rata-rata keterbacaan buku-buku teks pelajaran berstandar untuk Sekolah Dasar memiliki nilai 3,45. Dengan demikian, skor rerata ini tidak berbeda jauh dengan penilaian yang dilakukan guru atau tidak memiliki bias yang terlalu jauh.
Berdasarkan kajian ini diketahui bahwa pada umumnya buku teks pelajaran berstandar belum dilengkapi dengan buku Pedoman Pendidik, sehingga skor yang berhubungan dengan aspek tersebut sangat kurang. Demikian pula dengan kriteria buku yang dilengkapi dengan work book, pada umumnya buku berstandar tidak dilengkapi dengan buku kerja.
10. Profil Membaca Siswa
Profil membaca siswa yang berinteraksi dengan buku teks pelajaran terstandar (pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial) adalah sebagai berikut:
(a) Keragaman dalam kegiatan membaca di luar jam pelajaran yang dilakukan siswa masih kurang. Bacaan yang dibaca setiap hari oleh siswa kelas 1-2 adalah buku komik dan judul-judul acara televisi terutama dilakukan oleh siswa laki-laki/perempuan kelas 3-6. Namun, siswa kelas 3-6 pun pada umumnya setiap hari membaca buku teks pelajaran. Bacaan fiksi (cerita) hampir tidak pernah dibaca oleh siswa 1-2 dan siswa laki-laki kelas 3-6, demikian pula diketahui bahwa khusus kelas 3-6 pada umumnya tidak pernah membaca informasi dari internet. Bacaan yang dibaca sekali dalam seminggu pada umumnya berupa majalah atau koran. Selain itu, jenis bacaan yang dibaca sekali saja dalam seminggu oleh siswa putri kelas 1-2 dan siswa kelas 3-6 adalah komik, buku pelajaran dibaca sekali dalam seminggu oleh siswa kelas 1-2, dan siswa putri kelas 3-6 membaca buku cerita pada umumnya dilakukan hanya sekali saja dalam seminggu.
(b) Kegiatan membaca atau membaca kembali buku teks pelajaran di luar jam pelajaran sekolah dilakukan para siswa masih rendah. Kegiatan membaca dan membaca kembali buku teks pelajaran di luar jam pelajaran sekolah memiliki kekerapan lebih kecil dibandingkan dengan kekerapan mereka menonton televisi. Hal ini berarti bahwa kegiatan menonton televisi yang dilakukan siswa lebih dominan dilakukan daripada kegiatan membaca atau membaca kembali buku teks pelajaran di luar jam pelajaran sekolah. Hal yang sangat menarik diketahui bahwa dalam menonton televisi siswa kelas 1-2 perempuan dan siswa kelas 3-6 laki-laki lebih banyak daripada siswa laki-laki kelas 1-2 dan perempuan kelas 3-6. Dalam hal membaca fiksi (cerita pendek/novel, puisi, atau drama) pun masih sedikit dilakukan. Kegiatan membaca buku jenis fiksi ini pada umumnya dilakukan sekali-sekali saja dengan jumlah waktu yang lebih sedikit daripada kegiatan mereka menonton televisi. Demikian pula dengan membaca informasi dari koran, majalah, atau bacaan di internet (khusus kelas 4-6) masih sangat sedikit dilakukan oleh para siswa.
Dari penelitian keterbacaan buku teks pelajaran untuk Sekolah Dasar dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial diperoleh simpulan sebagai berikut:
(1) Dalam melakukan studi tentang profil membaca siswa Sekolah Dasar yang berinteraksi dengan buku teks pelajaran berstandar, diketahui bahwa:
(a) Kegiatan membaca yang dilakukan peserta didik setiap hari di luar jam pelajaran sekolah untuk kelas 1-2 adalah membaca komik dan untuk kelas 3-6 adalah acara-acara televisi dan membaca buku teks pelajaran. Siswa kelas 1-2 pada umumnya membaca kembali buku pelajaran sekali saja dalam seminggu. Peserta didik hampir tidak pernah membaca informasi dari internet dan fiksi (buku cerita rekaan), kecuali siswa perempuan kelas 3-6 yang membaca fiksi sekali dalam seminggu. Kegiatan membaca informasi dari majalah atau koran pada umumnya dilakukan sekali saja dalam seminggu.
(b) Kegiatan membaca yang dilakukan peserta didik di luar jam pelajaran sekolah memiliki porsi lebih rendah daripada menonton televisi, terutama yang dilakukan oleh siswa perempuan kelas 1-2 dan siswa laki-laki kelas 3-6. Berdasarkan kekerapannya diketahui bahwa membaca buku jenis fiksi, informasi dari koran, majalah, dan internet cenderung dilakukan sekali-sekali saja, dengan porsi yang lebih rendah daripada menonton televisi.
(2) Keterbacaan buku teks pelajaran berstandar bergantung pada keterpahaman kosakata, kalimat, paragraf dan jenis bacaan yang digunakan; kemenarikan penyajian buku tersebut; dan kemudahan menggunakan sistematika penyajian materi.
(a) Keterpahaman kosakata dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh seringnya kosakata tersebut didengar dan sudah dikenal oleh siswa. Keterpahaman kalimat dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh tingkat keintiman dan kesederhanaan kalimat tersebut bagi siswa, jika kalimat-kalimat dalam buku teks sudah sering dikenal oleh siswa atau disajikan dengan susunan yang sederhana maka keterbacaan buku teks pelajaran tersebut semakin tinggi. Keterpahaman paragraf dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh letak pikiran utama atau gagasan pokok yang disajikan pada awal paragraf dan ketersediaan gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut. Keterpahaman teks atau bacaan buku berstandar pada umumnya tinggi, karena menggunakan jenis wacana narasi, eksposisi, dan argumentasi. Keterpahaman bacaan dalam buku teks pelajaran eksakta (Matematika dan Sains) tinggi jika menggunakan jenis wacana eksposisi dan argumentasi, sedangkan mata pelajaran sosial (Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Sosial) menggunakan jenis wacana narasi dan eksposisi.
(b) Kemenarikan penyajian buku-buku teks pelajaran berstandar adalah sangat tinggi, karena menggunakan gambar atau ilustrasi yang memperjelas isi materi yang disajikan dan menggunakan huruf atau bacaan yang jelas dan terbaca, serta bahasa yang mudah dipahami. Buku teks pelajaran yang menggunakan bahasa yang mudah dipahami, menggunakan jilid atau gambar berwarna, menggunakan gambar dan ilustrasi yang dapat memperjelas isi, serta menggunakan huruf yang terbaca dan jelas memiliki daya tarik yang menentukan keterbacaan buku tersebut.
(c) Kemudahan dalam memahami sistematika penyajian pun turut menentukan keterbacaan buku teks pelajaran berstandar. Kemudahan dalam memahami itu karena penyajian suatu materi tersebut disertai gambar, dikaitkan dengan pengetahuan siswa, dan disesuaikan dengan pengalaman siswa sebagai pengguna buku.
(3) Keterbacaan buku teks pelajaran sekolah dasar berstandar berdasarkan penilaian guru yang dihubungkan dengan pembelajaran, diketahui memiliki keterbacaan tinggi (3,58 dari 5,0). Pada umumnya buku teks pelajaran belum dilengkapi dengan panduan pendidik dan buku kerja sebagai pendukung bagi kegiatan pembelajaran.
11. TIPS Membaca Lebih Cepat
Phillips, Ann Dye and Peter Elias Sotiriou. Steps to Reading Proficiency. 3rd Edition.
Belmont, California: Wadsworth, 1992.
TIPS 1
Tinggalkan cara mebaca dengan lisan (100-300 wpm), lakukanlah dengan hati (> 800 wpm).
TIPS 2
Gunakan pengetahuan bahasa Indonesia Anda, seperti pola kalimat, logika berpikir, kata perangkai kalimat, dan kata kunci (keywords), sebaliknya hindari kata-kata tugas karena tidak penting untuk pemahaman. Cara ini menghemat 10-50 % kata-kata yang tidak penting.
TIPS 3
Gunakan gerakan mata, bukan gerakan kepala secara efektif untuk menghemat waktu beberapa detik lagi.
TIPS 4
Terapkan pengetahuan membaca yang Anda dapat, pertama previewing, scanning, dan skimming.
TIPS 5
Biasakan diri dengan deadline waktu. Adanya tekanan waktu (time pressure) akan membantu Anda untuk lebih konsentrasi pada materi bacaan.
TIPS 6
. Jika kelima Tips di atas tidak berhasil membantu Anda secara drastis, mulailah memacu tingkat pembacaan Anda dengan mengunakan alat. Gunakan jari anda dengan cara memindahkan dari kiri ke kanan secara cepat per baris. Cara ini efektif kalau Anda ingin menghendaki per baris, jika tidak langkaui dari atas ke bawah menurut keyword atau kalimat topik. Cara ini umumnya menaikkan kecepatan baca hingga 400-800 wpm.
Jika Anda puas, cara terbaik membaca adalah dengan mata dan otak (konsentrasi), bukan dengan lisan (bicara), gerakan kepala, atau memakai jari. Slogan yang perlu diingat: "Bacalah ide pada teks, bukan kata-kata
elisa.ugm.ac.id/files/Arimi-Sailal/P1K1vgdE/BACA%20CEPAT%20VERSI%20BAHASA%20INDONESiA
12. menentukan teks keterbacaan
Ada tiga cara yang biasa dipakai untuk menentukan keterbacaan teks, yaitu dengan menggunakan intuisi, formula keterbacaan atau cloze test. Artikel ini membahas penggunaan formula keterbacaan untuk memprediksi tingkat keterbacaan teks. Pembahasan mencakup : pengertian keterbacaan, penggunaannya dalam berbagai bidang ilmu dan penjabaran pendapat pro keterbacaan. keterbacaan (readability) menyatakan tingkat kemudahan / kesukaran sebuah teks untuk dipahami maksudnya. Keterbacaan antara lain ditentukan oleh bahasa, tata huruf, kerapatan baris, lebar pinggir, unsur tata rupa yang lain, kosa kata dan struktur kalimat yang dipilih pengarang. Artikel ini hanya membahas tentang keterbacaan teks yang berhubungan dengan bahasa, bukan rupa tulisannya. Teks ada yang rendah dan yang tinggi keterbacaannya. teks yang tinggi keterbacaannya lebih mudah dipahami daripada yang rendah. Kesulitan memahami teks yang dimaksud di sini berkaitan dengan bacaan nas, dan tidak ada hubungannya dengan isi yang sukar dicerna. Oleh sebab itu keterbacaan teks tidak ditentukan oleh unsur bahasanya saja, ettapi juga oleh rupa tulisannya, yakni oleh taat huruf atau tipogarfinya.
http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&id=47772&src=a
Intuisi
http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/11/intuisi.html
Intuisi adalah istilah untuk kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas. Sepertinya pemahaman itu tiba-tiba saja datangnya dari dunia lain dan diluar kesadaran. Misalnya saja, seseorang tiba-tiba saja terdorong untuk membaca sebuah buku. Ternyata, didalam buku itu ditemukan keterangan yang dicari-carinya selama bertahun-tahun. Atau misalnya, merasa bahwa ia harus pergi ke sebuah tempat, ternyata disana ia menemukan penemuan besar yang mengubah hidupnya. Namun tidak semua intuisi berasal dari kekuatan psi. Sebagian intuisi bisa dijelaskan sebab musababnya.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang berada dalam jajaran puncak bisnis atau kaum eksekutif memiliki skor lebih baik dalam eksperimen uji indera keenam dibandingkan dengan orang-orang biasa. Penelitian itu sepertinya menegaskan bahwa orang-orang sukses lebih banyak menerapkan kekuatan psi dalam kehidupan keseharian mereka, halmana menunjang kesuksesan mereka. Salah satu bentuk kemampuan psi yang sering muncul adalah kemampuan intuisi. Tidak jarang, intuisi yang menentukan keputusan yang mereka ambil.
Sampai saat ini dipercaya bahwa intuisi yang baik dan tajam adalah syarat agar seseorang dapat sukses dalam bisnis. Oleh karena itu tidak mengherankan jika banyak buku-buku mengenai kiat-kiat sukses selalu memasukkan strategi mempertajam intuisi.
13. Langkah-langkah Meneliti Keterbacaan
Berikut adalah beberapa langkah dalam meneliti keterbacaan suatu teks bacaan :
1. Mencari bahan berupa teks bacaan dari buku pelajaran siswa sekolah mengah.
2. Bahan berupa teks tersebut kemudian disamarkan dengan menghilangkan sebagian kata dalam teks. Dalam hal ini kami menghilangkan kata kelima dari setiap lima kata dalam teks bacaan.
3. Mencari populasi siswa sebagai objek penelitian.
4. Meminta para siswa mengisi bagian-bagian yang kosong dalam teks bacaan dengan kata yang paling tepat untuk mereka.
5. Menilai hasil pekerjaan siswa terhadap bahan bacaan.
6. Merumuskan hasil pekerjaan para siswa sehingga akhirnya didapatkan hasil penelitian dan tingkat keterbacaan suatu teks bacaan dengan rumus.
14 . Beberapa Hasil Penelitian Keterbacaan
Penelitian tentang keterbacaan buku sudah berlangsung sejak tahun 1920-an, antara lain dilakukan oleh Lively dan Pressey yang menemukan formula keterbacaan berdasarkan struktur kata dan kalimat serta makna kata yang diukur dari frekuensi dan kelaziman pemakaiannya (Klare, 1984). Dale (dalam Tarigan, 1985) meneliti jumlah kosakata yang digunakan oleh anak-anak pembelajar pemula di Amerika Serikat. Sebanyak 1500 kata telah dikuasai mereka, terutama kosakata yang berhubungan dengan kata-kata yang digunakan sehari-hari. Memasuki tahun kedua, para siswa itu telah menguasai kosakata sejumlah 3000 kata. Penambahan kosakata setiap tahun sekitar 1000 kata, sehingga jumlah kosakata rata-rata bagi lulusan SMA sekitar 14000 kata, dan bagi mahasiswa sekitar 18000 sampai 29000 kata (Harris & Sipay dalam Zuchdi, 1995).
Sementara itu, Leon Verlee (dalam Wojowasito, 1976) menyebutkan bahwa kebanyakan dari kita hanya menggunakan 2000 kata, di luar sejumlah kata fungsi dan istilah istilah praktis yang khas bagi lingkungannya. Walaupun demikian, biasanya kita tidak menemui kesulitan kesulitan yang berarti dalam membicarakan dan mengolah persoalan persoalan keseharian, persoalan keluarga, pekerjaan, dan alam sekitarnya. Kaum intelektual sendiri menggunakan lebih banyak perkataan, tetapi tidak lebih dari 4000 sampai dengan 5000 perkataan. Piere Guiraud yang mengadakan penelitian jumlah kata yang dipergunakan oleh para pengarang, mengambil kesimpulan bahwa jumlah perkataan yang biasa dipergunakan oleh para pengarang berkisar antara 3000-4000 perkataan saja. Penelitian penelitian yang dilakukan oleh T.U. Yule, E. Epstein, G. Herdan, dan B.J.M. Quemada, misalnya, menguatkan pendapat Guiraud yaitu bahwa kebanyakan pengarang mempergunakan perkataan di bawah jumlah 4000 kata namun hal itu bagi mereka tidaklah menjadikan halangan untuk mengolah, menulis, membicarakan segala persoalan yang paling berbeda dan paling kompleks sekalipun (Wojowasito, 1976).
Penggunaan kosakata dalam buku pelajaran antara lain diteliti oleh Dale and Razik (1973) dan Petty, Herold, and Stall (1968). Seperti dilaporkan oleh Zuchdi (1995) bahwa buku teks pelajaran terlalu banyak memuat kata-kata teknis yang jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu masih banyak konsep yang sukar untuk anak-anak jenjang sekolah menengah dan umumnya tidak lazim untuk digunakan dalam buku teks pelajaran. Penelitian yang dilakukan Zuchdi (1997) tentang jumlah kosakata dalam buku paket bahasa Indonesia menyebutkan bahwa kosakata yang digunakan di SD rata-rata berjumlah 8000 kata, terdiri atas kata dasar, kata berimbuhan, kata majemuk, dan kata ulang. Penambahan setiap tahunnya kira-kira 1000 kata.
Menurut Wahjawidodo (1985), penggunaan kata tunggal, kata kompleks, kata ulang, dan kata majemuk dalam buku pelajaran sekolah dasar masih banyak digunakan, sebagian dapat dengan mudah dipahami, tetapi sebagian besar lainnya sukar dicerna. Kata berimbuhan yang terbentuk dari kata dasar, baik awalan, akhiran, maupun gabungan awalan dan akhiran, juga tidak menimbulkan kesulitan.
Panjang kalimat juga dipercaya sebagai faktor utama dalam menentukan pemahaman kalimat, sehingga biasanya dijadikan alat ukur tingkat keterbacaan sebuah wacana dan faktor penentu dalam rumus-rumus keterbacaan. Flesch (1974) misalnya menyebutkan bahwa jumlah kalimat (bahasa Inggris) kurang dari delapan kata akan memudahkan pembacanya untuk memahami bacaan. Standar panjang kalimat adalah antara 14 sampai dengan 17 kata; sedangkan penggunaan lebih dari 25 kata sudah terlalu sukar untuk dipahami.
Tallei (1988) melaporkan hasil penelitiannya bahwa tingkat keterbacaan buku pelajaran itu berkaitan erat dengan keterpaduan dan keruntutan wacananya; sedangkan Suhadi (1996) mengatakan bahwa keterbacaan buku Energi Gelombang dan Magnet (EGM) dan Sejarah Nasional Indonesia (SNI) masing-masing 57% untuk EGM dan 45% untuk SNI.
Tingkat keterbacaan itu berkaitan erat dengan kemampuan pembacanya. Tingkat literasi awal dalam kemampuan membaca seperti yang dilakukan oleh studi PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) menunjukkan bahwa siswa kita masih menghadapi kendala dalam membaca. PIRLS adalah suatu studi kemampuan membaca yang dirancang untuk mengetahui kemampuan anak sekolah dasar dalam memahami bermacam ragam bacaan. Penilaian difokuskan pada dua tujuan membaca yang sering dilakukan anak-anak, yaitu membaca cerita sastra dan membaca untuk memperoleh informasi. Pada studi tahun 1999 diketahui bahwa keterampilan membaca kelas IV Sekolah Dasar kita berada pada tingkat terendah di Asia Timur, seperti dapat dilihat dari perbandingan skor rata-rata berikut ini: 75.5 (Hong Kong), 74.0 (Singapura), 65.1 (Thailand), 52.6 (Filipina), dan 51.7 (Indonesia). Studi ini juga melaporkan bahwa siswa Indonesia hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan karena mereka mengalami kesulitan dalam menjawab soal-soal bacaan yang memerlukan pemahaman dan penalaran. Studi tahun 2006 sudah dilakukan tetapi hasilnya baru dapat diperoleh pada tahun berikutnya.
Studi kemampuan membaca lainnya adalah PISA (Programme for International Student Assessment) yang bertujuan meneliti secara berkala tentang kemampuan siswa usia 15 tahun (kelas III SMP dan Kelas I SMA) dalam membaca, matematika, dan sains. PISA mengukur kemampuan siswa pada akhir usia wajib belajar untuk mengetahui kesiapan siswa menghadapi tantangan masyarakat-pengetahuan (knowledge society) dewasa ini. Penilaian yang dilakukan dalam PISA berorientasi ke masa depan, yaitu menguji kemampuan untuk menggunakan keterampilan dan pengetahuan mereka dalam menghadapi tantangan kehidupan nyata, tidak semata-mata mengukur kemampuan yang dicantumkan dalam kurikulum sekolah.
Hasil studi tahun 2000 mengungkapkan bahwa literasi membaca siswa Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan siswa yang ada di manca negara. Dari 42 negara yang disurvey, siswa Indonesia menduduki peringkat ke-39, sedikit di atas Albania dan Peru. Kemampuan siswa kita itu masih di bawah siswa Thailand (peringkat ke-32). Pada PISA 2003 (Matematika), dengan total nilai 360, siswa Indonesia berada pada posisi terbawah sampai ketiga dari bawah.
Sejalan dengan kemampuan membaca di atas, rupanya kemampuan matematika dan sains siswa kita juga tidak terlalu menggembirakan. TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) merupakan suatu studi internasional untuk kelas 4 dan 8 dalam bidang Matematika dan Sains. Pada tahun 1999, hasil studi ini menunjukkan bahwa di antara 38 negara peserta, prestasi siswa SMP kelas 8 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk sains dan ke-34 untuk Matematika.
Hasil dari ketiga studi internasional tersebut memang belum memuaskan. Dalam kemampuan membaca yang menjadi dasar bagi pengembangan diri di masa yang akan datang, kita tentu menghadapi tantangan luar biasa karena hanya 0.1 persen siswa yang dapat mencapai tingkat literasi tertinggi, sementara 63.2 persen berada pada tingkat kemampuan yang sangat rendah. Para siswa ini tentu memiliki kemampuan membaca, tetapi mereka menunjukkan kesulitan yang serius dalam menerapkan kemampuan membacanya sebagai alat untuk membantu dan memperluas pengetahuan dan keterampilan dalam bidang yang mereka minati.
Seperti dilaporkan dalam PISA (2000) kemampuan membaca ini berkaitan erat dengan kebiasaan membaca, yaitu berapa lama para siswa itu membaca setiap harinya, (2) bahan bacaan apa saja mereka baca (majalah, buku fiksi, non-fiksi, komik, buku pelajaran, atau surat kabar), dan (3) sikap membaca.
Sikap membaca berkaitan dengan sikap apakah mereka hanya membaca kalau ditugaskan guru, membaca hanya untuk mendapatkan informasi yang diperlukan, membaca itu adalah hobi, membaca buku dan kemudian mendiskusikannya dengan teman atau orang lain, ketagihan untuk membaca banyak buku, bergembira mendapatkan hadiah buku, suka pergi ke toko buku atau perpustakaan, tidak biasa duduk tanpa membaca, atau membaca itu membuang-buang waktu.
Minat membaca dapat diketahui dari respons terhadap pertanyaan apakah membaca itu menyenangkan, apakah mereka membaca pada waktu luang mereka, apakah mereka benar-benar terhanyut (totally absorbed) dalam kegiatan membaca mereka.
Kebiasaan membaca para siswa itu juga dapat disebabkan oleh ketertarikan mereka terhadap materi yang mereka baca. Penelitian PISA menunjukkan bahwa siswa perempuan lebih banyak membaca majalah, komik, buku cerita, dan buku bukan cerita dibandingkan dengan laki-laki. Namun, laki-laki lebih banyak menggunakan e-mail dan membaca koran dibandingkan dengan siswa perempuan. Kecuali untuk kelompok bahan bacaan majalah dan e-mail/web, siswa Indonesia berada di atas rata-rata siswa dari negara-negara OECD.
Dari frekuensi membaca dan ragam bahan bacaan yang dibaca siswa itu, PISA mengelompokkan pembaca itu menjadi empat profil pembaca. Para siswa yang berada di kelompok ke-1 adalah kategori siswa dengan bahan bacaan yang tidak terlalu beragam, hanya membaca surat kabar dan sedikit sekali fiksi atau komik. Kelompok ini memiliki kemampuan membaca yang juga rendah 40 poin skor dibandingkan dengan skor rata-rata. Kelompok ke-2 adalah siswa yang digolongkan membaca agak lebih beragam, yaitu pembaca surat kabar dan majalah. Mereka jarang membaca buku atau komik. Kelompok ke-3 adalah para siswa yang membaca surat kabar, majalah, dan juga buku-buku fiksi dan komik. Siswa dari kelompok ini memiliki tingkat literasi yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok sebelumnya. Siswa kita dilaporkan berada pada kelompok ini, tetapi tingkat kemampuan membacanya tidak sebaik siswa lain dalam kelompok ini. Kelompok ke-4 adalah pembaca yang baik dan sudah memiliki kebiasaan membaca buku, sehingga tingkat kemampuannya lebih tinggi 40 skor dan berada di atas rata-rata kelompok sebelumnya.
Kebiasaan membaca adalah aspek yang mungkin paling lemah dalam masyarakat kita. Budaya kita lebih condong kepada budaya-dengar daripada budaya-baca. Dengan demikian, secara kualitatif, terdapat perbedaan yang besar antara respons siswa kita terhadap jawaban (setuju atau tidak setuju di atas) jika dibandingkan dengan siswa dari negara-negara maju. Ada kemungkinan jawaban yang diberikan siswa kita lebih merupakan ‘keinginan’ daripada kenyataan.
Hasil studi keterbacaan yang dilaksanakan oleh Tim Pusat Perbukuan tahun 2003-2004 menyimpulkan bahwa ciri-ciri penting dari suatu buku teks pelajaran untuk sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi dapat dilihat dari penggunaan aspek wacana, paragraf, kalimat, pilihan kata, dan pertanyaan atau latihan-latihan dalam buku teks pelajaran tersebut. Berdasarkan kajian terhadap aspek wacana, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi untuk siswa kelas satu sampai dengan kelas tiga jika disajikan dengan menggunakan wacana narasi, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam disajikan dengan menggunakan wacana deskripsi.
Berdasarkan kajian terhadap aspek paragraf dari penelitian itu, diketahui bahwa buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi adalah buku pelajaran yang disajikan dengan menggunakan paragraf-paragraf deduktif. Paragraf induktif dapat digunakan dalam meningkatkan pemahaman siswa kelas empat, lima, dan enam jika digunakan dalam wacana narasi.
Berdasarkan kajian terhadap aspek kalimat, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi bagi siswa kelas dua dan tiga adalah jika kalimat-kalimat yang digunakannya berupa kalimat sederhana, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam dapat menggunakan kalimat luas yang dapat meningkatkan pemahamannya secara lebih baik. Jika wacana yang digunakannya adalah wacana argumentasi, maka kalimat-kalimat sederhana dalam wacana tersebut dapat meningkatkan keterbacaan suatu buku pelajaran.
Berdasarkan kajian terhadap aspek penggunaan kata atau pilihan kata maka buku pelajaran sekolah dasar untuk siswa kelas satu sampai dengan tiga yang memiliki keterbacaan tinggi jika pada buku tersebut digunakan kosakata sederhana, memiliki sukukata sederhana, dan kosakatanya berhubungan dengan konteks social siswa. Penggunaan kosakata dalam buku pelajaran untuk siswa kelas empat sampai dengan enam sebaiknya menghindari penggunaan istilah-istilah khusus, asing atau bermakna konotatif.
Berdasarkan kajian terhadap pertanyaan bacaan atau latihan dalam buku teks pelajaran, diketahui bahwa buku pelajaran untuk sekolah dasar kelas satu sampai dengan kelas tiga sebaiknya menggunakan pertanyaan bacaan berbentuk isian terbatas, rumpang kata, atau melengkapi sebuah kata dalam konteks kalimat. Sementara itu, pertanyaan atau latihan untuk siswa kelas empat sampai dengan kelas enam dapat menggunakan pertanyaan, perintah, atau latihan yang menuntut pengembangan kemampuan berpikir logis dan kemampuan berpikir abstrak.
Dalam kaitan dengan pengukuran keterbacaan suatu bacaan atau buku teks pelajaran untuk sekolah dasar maka dapat dinyatakan bahwa formula SMOG dapat digunakan untuk memprediksi kesesuaian peruntukan suatu bacaan sebelum bacaan tersebut digunakan sebagai bahan ajar kepada para siswa sekolah dasar. Formula ini cukup sederhana dan dapat digunakan untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang paling sedikit terdiri atas 10 kalimat.
Pengukuran ahli atau guru terhadap keterbacaan suatu bahan bacaan hanya dapat dilakukan jika penilai (assessor) menguasai materi pelajaran yang akan diukur dan menguasai pula aspek-aspek kebahasaan yang digunakan dalam bacaan tersebut. Hasil pengukuran ini dapat digunakan untuk memprediksi tingkat keterbacaan, sebelum digunakan sebagai bahan ajar kepada peserta didik.
Pengukuran keterbacaan berdasarkan kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan pertanyaan bacaan merupakan pengukuran yang realistis. Hasil pengukuran dengan cara ini menghasilkan keterbacaan yang sesuai dengan hasil pengukuran dari formula SMOG dan penilaian ahli. Pengukuran jenis ini dianggap hasil pengukuran yang paling sesuai, karena dilakukan secara langsung kepada siswa sebagai pemakainya. Hasil pengukuran ini dapat digunakan sebagai indikator dari suatu bacaan yang memiliki keterbacaan tinggi. http://suherlicentre.blogspot.com/2008/10/hut-70-tahun-profdryus-rusyana.html
Alhamdulillahi Rabbil Alamin, puji syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Bahan Ajar Membaca dan Keterbacaan “ sebagai salah satu pemenuhan materi mata kuliah membaca II.
Terima kasih kami sampaikan kepada dosen pembimbing dan rekan – rekan yang telah membantu menyusun pikirannya demi tersusunnya makalah ini.
Dalam penulissan makalah ini penulis sadar bahwa dalam penyusunan masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
Bandarlampung, April 2009
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keterbacaan adalah sesuai tidaknua suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukarannya. ( Tampubolon 1987 : 214 )
Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata - kata atau bahasa tulis. ( TARIGAN 1979 : 7 ). Tidak sulit kalu hanya sekedar membaca. Semua orang yang pernah mengenyam pendidikan mayoritas bias membaca. Tetapi yang menjadi masalah adalah bagaimana cara membaca agar teks bacaan bias dibaca cepat, mudah dipahami, dan mudah diingat.
B. Rumusan Masalah
Latar belakang di atas, penulis bertolak dari merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian keterbacaan ?
2. Bagaimana cara menyikapi keterbacaan tersebut ?
C. Tujuan
Dalam penulisan makalah ini penulis tdak hanya sekedar menulis, tetapi setelah membaca makalah ini penuulis berharap pembaca agar :
1. Mengerti pengertian keterbacaan.
2. menjadi tahu bagaimana menyikapi keterbacaan tersebut .
BAB 2
PENYAJIAN
1.Pengertian dan latar belakang sejarah keterbacaan.
Keterbacaan : perihal dapat dibAcanya teks secara cepat, mudah dimengerti, mudah dipahami, dan mudah diingat.(KBBI : 1998)
Keterbacaan adalah keseluruhan unsur bacaan yang mempengaruhi keberhasilan yang dicapai oleh sekelompok pembaca dengan bahan tersebut (Hafni, 2001:13).
Keterbacaan adalah perihal dapat dibacanya teks secara cepat, mudah dim engerti, mudah dipahami, dan mudah diingat. (depdikbud : 1998)
Keterbacaan adalah perihal dapat dibacanya teks dengan cepat, mudah dipahami. ( novia, windi : 45 )
Keterbacaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran / kemudahan wacananya (Harjasujana, 1996 : 106).
Keterbacaan, menurut Richards et al (1985: 238), merujuk pada seberapa mudah teks tulis dapat dibaca dan dipahami oleh pembaca. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Dale dan Chall, bahwa keterbacaan merupakan keseluruhan unsur dalam sebuah teks tulis yang mempengaruhi keterpahaman pembaca (dalam Flood, 1984: 236). Kedua definisi keterbacaan itu dengan jelas menunjukkan bahwa ada dua faktor umum yang mempengaruhi keterbacaan sebuah teks, yaitu (1) unsur-unsur linguistik yang digunakan untuk menyampaikan pesan, dan (2) ketrampilan membaca para pembaca. Menurut Richards et al. (1985: 238), keterbacaan sebuah teks dapat diukur secara empirik, yang didasarkan pada panjang rata-rata kalimat, kompleksitas struktur kalimat, dan jumlah kata baru yang digunakan dalam teks. Hal yang sama juga dinyakatan oleh Sakri (1993: 135) bahwa keterbacaan tergantung kosa kata dan konstruksi kalimat yang digunakan oleh penulis dalam tulisannya. Nababan (2000: 317) menyebutkan faktor-faktor lainnya yang dapat mempengaruhi keterbacaan teks terjemahan: penggunaan kata asing dan daerah, penggunaan kata dan kalimat taksa, penggunaan kalimat tak lengkap, dan alur pikir yang tidak runtut. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/2%20adrean_nababan_uns.pdf
Keterbacaan merupakan pengukuran tingkat kesulitan sebuah buku atau wacana secara objektif tingkat terbacaan itu biasanya dinyatakan dengan peringkat ke 5 (Mushlisoh, 1995 : 183) dengan tingkat kemampuan pembaca, denga jalan mencocokan tingkat keterbacaan dengan tingkat kemampuannya, diharapkan pembaca tidak mengalami frustasi : minat bacanya akan berkembang terus.
Keterbacaan dalam istilah bahasa Inggris disebut readability. Keterbacaan itu adalah kemampuan untuk dibaca dari seluruh unsur yang ada dalam teks (termasuk di dalamnya interaksi antar-teks) dan berpengaruh terhadap keberhasilan pembaca dalam memahami materi yang dibacanya pada kecepatan membaca yang optimal (Dale & Chall dalam Gilliland, 1972).
Mc Laughin menambahkan bahwa keterbacaan itu berkaitan dengan pemahaman karena bacaan itu memiliki daya tarik tersendiri yang memungkinkan pembacanya terus tenggelam dalam bacaan.
Gilliland kemudian menyimpulkan keterbacaan itu berkaitan dengan tiga hal, yakni kemudahan, kemenarikan, dan keterpahaman. Kemudahan membaca berhubungan dengan bentuk tulisan, yakni tata huruf (topografi) seperti besar huruf dan lebar spasi. Kemudahan ini berkaitan dengan kecepatan pengenalan kata, tingkat kesalahan, jumlah fiksasi mata per detik, dan kejelasan tulisan (bentuk dan ukuran tulisan). Kemenarikan berhubungan dengan minat pembaca, kepadatan ide pada bacaan, dan keindahan gaya tulisan. Keterpahaman berhubungan dengan karakteristik kata dan kalimat, seperti panjang-pendeknya dan frekuensi penggunaan kata atau kalimat, bangun kalimat, dan susunan paragraf.
Selanjutnya, Klare (1984:726) menyatakan bahwa bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang baik akan memengaruhi pembacanya dalam meningkatkan minat belajar dan daya ingat, menambah kecepatan dan efisiensi membaca, dan memelihara kebiasaan membacanya.
Pada dasarnya, tingkat keterbacaan itu dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu melalui rumus/formula keterbacaan dan melalui respons pembaca (McNeill, et.al., 1980; Singer & Donlan, 1980). Formula keterbacaan pada dasarnya adalah instrumen untuk memprediksi kesulitan dalam memahami bacaan. Skor keterbacaan berdasarkan formula ini didapat dari jumlah kata yang dianggap sulit, jumlah kata dalam kalimat, dan panjang kalimat pada sampel bacaan yang diambil secara acak. Formula Flesch (1974), Grafik Fry (1977), dan Grafik Raygor (1984) menggunakan rumus keterbacaan yang hampir sama. Dari ketiga formula itu, Grafik Fry lebih populer dan banyak digunakan karena formula ini relatif sederhana dan mudah digunakan.
Tingkat keterbacaan wacana juga dapat diperoleh dari tes keterbacaan terhadap sejumlah pembaca dalam bentuk tes kemampuan memahami bacaan. Tes itu menguji apa yang disebutkan oleh Bernhardt (1991) sebagai ’enam faktor heuristic dalam pemahaman isi bacaan’. Tiga faktor berkaitan dengan teks (text driven), yaitu pengenalan kata, proses dekoding fonem-grafem, dan pengenalan sintaksis kalimat. Tiga faktor lain berhubungan dengan pengetahuan pembaca (knowledge driven), yaitu intra-textual perception, metacognition, dan prior knowledge. Ketiga faktor terakhir itu sifatnya tersembunyi dan tersirat, sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu.
Sementara itu, Gilliland (1972) menyebutkan lima cara mengukur tingkat keterbacaan, yakni penilaian subjektif, tanya jawab, formula keterbacaan, grafik & Carta, dan teknik cloze. Penilaian subjektif dilakukan oleh sejumlah orang tertentu – seperti guru, pustakawan, editor, dan kelompok pembaca berdasarkan pengamatan atas isi, pola, kosakata, format dan pengorganisasian suatu bacaan. Oleh karena sifatnya subjektif, keabsahan hasil penilaiannya bergantung pada keandalan para penilai. Jika penilai memiliki pengetahuan yang memadai tentang aspek-aspek keterbacaan, maka hasil penilaian biasanya memiliki validitas yang baik.
Kajian tentang keterbacaan itu sudah berlangsung berabad-abad namun kemajuannnya baru tampak setelah statistik mulai ramai digunakan, tekhnik statistik itu memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi faktor-faktor keterbacaan yang penting untuk menyusun formula yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan wacana menurut Klare (1963), kajian-kajian terdahulu menunjukan adanya keterkaitan dengan keterbacaan. Gray dan Leary mengidentifikasi adanya 289 faktor yang mempengaruhi keterbacaan, 20 faktor diantaranya dinyatakan signifikan.
Ada beberapa formula keterbacaan yang lajim digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan sebuah wacana-formula-formula keterbacaan yang terdahulu, memang bersifat kompleks dan menuntut pemakaiannya untuk memiliki kecermatan menghitung berbagai variabel, penelitian yang terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan yakni : Panjang pendek kalimat, dan tingkat kesulitan kata.
2.Kaitan keterbatasan dengan bahan ajar membaca
Tentang tingkat kemampuan membaca beregu terutama dalam metode pemberian tugas membaca, pemilihan buku tes atau bahan bacaan yang lainnya.
Perkembangan kelayakan tidak hanya didasarkan atas pertimbangan berbagai nilai diantara nya nilai isi, manfaat, pendidikan, moral, etika dan lain-lain, melainkan harus dipertimbangkan tingkat kesulitan dari masing-masing materi yang dimaksud. Bahan-bahan tersebut harus memenuhi tingkat keterbacaan sesuai dengan tuntutan dan karakter pembacanya.
Disamping itu penggunaan rumus-rumus keterbacaan akan sangat berguna bagi guru untuk mempersiapkan atau mengubah tingkat keterbacaan materi bacaan yang hendak diajarkannya. Tuntutan bagi setiap guru untuk dapat berperan dan bertindak sebagai penulis bukanlah pandangan keliru. Peran guru sebagai penulis tempat pada pekerjaan mempersiapkan tes, membuat rencana pengajaran. Menyusun program pengajaran dan lain-lain dalam mempersiapkan bahan-bahan tersebut guru hendaknya mempertimbangkan tingkat keterbacaan bahan yang akan ditulisnya.
Keterampilan mengubah tingkat keterbacaan wacana perlu dimiliki oleh guru. Pengubahan tersebut dapat dilakukan dengan meninggikan taraf kesulitan kesulitan wacananya atau menurunkan tingkat kesulitan wacana tersebut.
3. Formula-formula keterbacaan
1. formula keterbacaan Flesch Grade Level
2. Formula keterbacaan Flesch Reading Ease
3. Formula keterbacaan FORCAST
4. Formula keterbacaan Grafik Fry
5. Formula keterbacaan Gunning’s Fog Index
6. Formula keterbacaan Dale-chall
7. Formula keterbacaan Powers-Sumner-Kearl
8. Formula keterbacaan SMOG
9. Formula keterbacaan SPACHE
4. Bacaan, Membaca, dan Keterbacaan
Dalam literatur linguistik, teori membaca dikelompokkan berdasarkan tiga perspektif, yaitu perspektif kognitif, perspektif sosial, dan perspektif operasi teks-dan-pengetahuan (text-driven and knowledge-driven operation). Dalam padangan ahli kognitif, seorang pembaca adalah seperti sebuah komputer, ia memiliki pusat pemrosesan data yang terletak di dalam otaknya (Bernhardt, 1991: 8). Informasi yang didapat dari bacaan adalah input yang diolah oleh otak melalui beberapa tahapan dengan menggunakan hipotesis “jika…maka…”. Pemahaman akan didapat apabila hipotesis itu telah dapat dijawab pembaca. Dalam pandangan ini, pembaca dianggap sebagai seorang problem solver yang membangun hubungan objek dan makna di kepalanya yang merupakan internal representation dari masalah yang sedang dihadapi. Setiap orang dipastikan memiliki internal representation yang berbeda, sekalipun masalah yang dihadapinya sama. Menurut Bernhardt (1991), representasi internal ini merupakan output dari pusat pemrosesan itu. Output tersebut bukan merupakan duplikasi dari inputnya, melainkan intrapersonal conceptualisation atau pemahaman yang unik dari masing-masing individu pembaca.
Membaca juga memiliki fungsi sosial. Membaca adalah bagian dari budaya dan sekaligus membangun budaya. Sebuah teks bacaan adalah artefak sosial dan budaya yang memiliki nilai dan norma tertentu (Bernhardt, 1991: 13). Setiap masyarakat memiliki tatanan nilai dan norma yang unik dan berbeda dari masyarakat lainnya. Seorang pembaca yang efektif tidak memerhatikan aspek kebahasaan saja untuk memahami keseluruhan makna yang dibacanya tetapi juga menggunakan pengetahuannya tentang konteks bacaan, yaitu masyarakat dan budaya tempat teks itu dibuat.
Membaca juga merupakan perpaduan antara pemahaman bentuk dan makna. Ada dua cara memahami bacaan, yaitu memahami bacaan dengan menganalisis teks dan memahami berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Biasanya pembaca memadukan kedua cara ini dalam proses pemahamannya. Dalam istilah Bernhardt (1991), proses membaca demikian itu sifatnya “multidimensional and multivariate.” Teks itu sendiri ada yang terlihat (seen text) seperti yang terbaca oleh pembaca, dan teks ‘tersembunyi’ (unseen text) yang merupakan maksud penulis yang biasanya mengandung nilai sosial dan budaya. Oleh karena itu, Bernhardt (1991:73) mengingatkan bahwa dalam membaca tidak cukup memerhatikan kata, kalimat, dan paragraf saja, sekalipun tanpa unsur-unsur itu tidak akan terjadi proses membaca.
Selain aspek morfologi dan sintaksis, Bernhardt (1991:85) mengatakan bahwa struktur teks juga memengaruhi pemahaman seseorang pada bacaan. Dalam pandangannya, hal tersebut dinamakan “rhetorical organisation of texts”. Aspek tersebut cukup penting dalam memahami teks karena di dalam pengorganisasian teks inilah dapat diketahui gagasan dan argumentasi dari penulisnya.
Bernhardt (1991) menyebutkan ada enam faktor heuristic dalam pemahaman isi bacaan. Tiga faktor berkaitan dengan teks (text driven), yaitu pengenalan kata, proses dekoding fonem-grafem sebagai upaya pencarian makna, dan pengenalan sintaksis kalimat. Tiga faktor lain berhubungan dengan pengetahuan pembaca (knowledge driven), yaitu intratextual perception, metacognition, dan prior knowledge. Ketiga faktor terakhir itu sifatnya tersembunyi dan tersirat. Oleh karena itu, dalam mengetahui pemahaman suatu bacaan diperlukan ketepatan dalam memahami unsur linguistik yang berhubungan dengan teks, namun juga berhubungan dengan pengalaman pembaca.
5. Formula SMOG
Formula SMOG untuk Mengukur Keterbacaan
Sebagaimana telah diungkapkan bahwa beberapa formula pengukuran keterbacaan telah banyak diciptakan, namun pada umumnya didasarkan pada kondisi nyata dari suatu teks yang dibaca atau atas text driven. Formula yang memungkinkan digunakan untuk menakar keterbacaan bahan ajar adalah SMOG (Simplified Measure of Gobbledygook) yang dikembangkan McLaughlin di pendidikan dasar dan menengah.
Pengukuran keterbacaan dengan menggunakan Formula SMOG dimaksudkan untuk mengukur kesesuaian antara bacaan dengan usia pembaca. Formula SMOG dapat digunakan dengan mudah oleh para guru dalam memilih bahan bacaan. Formula ini dirancang untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang sangat sedikit (minimal 10 kalimat) hingga bacaan yang sangat panjang (yang dilakukan dengan menggunakan sampel).
Adapun langkah-langkah SMOG Test terdapat dua cara, yaitu:
Cara I
(digunakan untuk bacaan panjang yang lebih dari 30 kalimat) dengan tahapan sebagai berikut:
(1) Dari suatu bacaan yang akan diukur dipilih 10 kalimat pada bagian awal, 10 kalimat pada bagian tengah, dan 10 kalimat pada bagian akhir bacaan sehingga diperoleh 30 kalimat;
(2) Menghitung kosakata yang memiliki tiga sukukata atau lebih dari seluruh kalimat yang telah dipilih tersebut (dari 30 kalimat);
(3) Jumlah kosakata tersebut digunakan untuk mencari tingkat kesesuaian bacaan dengan usia siswa melalui Tabel Konversi SMOG I sebagai berikut:
Tabel:
Nilai Konversi SMOG I
3 Sukukata Tingkat Keterbacaan (Usia) Jumlah Total Kata yang 3 Sukukata Tingkat Keterbacaan (Usia)Jumlah Total Kata yang
0 - 2 4 57 - 72 11
3 - 6 5 73 - 90 12
7 - 12 6 91 - 110 13
13 - 20 7 111 - 132 14
21 - 30 8 133 - 156 15
31 - 42 9 157 - 182 16
43 - 56 10 183 - 210 17
211 - 240 18
Cara II
(digunakan untuk bacaan pendek, yaitu 10 sampai dengan 30 kalimat) dengan langkah-langkah sebagai berikut:
(1) Menghitung jumlah kalimat dalam bacaan tersebut;
(2) Menghitung jumlah kosakata yang memiliki tiga sukukata atau lebih;
(3) Menggunakan jumlah kalimat dari bacaan yang diukur untuk menentukan nilai konversi dalam Tabel Konversi SMOG II;
(4) Menjumlahkan kosakata yang memiliki tiga sukukata atau lebih dengan nilai konversi untuk menentukan tingkat keterbacaan pada Tabel SMOG I;
Berdasarkan langkah-langkah ini maka dapat dinyatakan bahwa cara pertama digunakan jika kalimat yang menjadi sampel pengukuran berjumlah 30 kalimat atau lebih, sedangkan cara kedua dilakukan untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang kurang dari 30 kalimat. Cara kedua ini memerlukan dua tabel konversi.
6. Hasil Studi Keterbacaan
Keterbacaan (readability) adalah seluruh unsur yang ada dalam teks (termasuk di dalamnya interaksi antarteks) yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembaca dalam memahami materi yang dibacanya pada kecepatan membaca yang optimal (Dale & Chall dalam Gilliland, 1972). Mc Laughin (1980) menambahkan bahwa keterbacaan itu berkaitan dengan pemahaman pembaca karena bacaannya itu memiliki daya tarik tersendiri yang memungkinkan pembacanya terus tenggelam dalam bacaan.
Gilliland (1972) kemudian menyimpulkan keterbacaan itu berkaitan dengan tiga hal, yakni kemudahan, kemenarikan, dan keterpahaman. Kemudahan membaca berhubungan dengan bentuk tulisan, yakni tata huruf (topografi) seperti besar huruf dan lebar spasi. Kemudahan ini berkaitan dengan kecepatan pengenalan kata, tingkat kesalahan, jumlah fiksasi mata per detik, dan kejelasan tulisan (bentuk dan ukuran tulisan). Kemenarikan berhubungan dengan minat pembaca, kepadatan ide pada bacaan, dan keindahan gaya tulisan. Keterpahaman berhubungan dengan karakteristik kata dan kalimat, seperti panjang-pendeknya dan frekuensi penggunaan kata atau kalimat, bangun kalimat, dan susunan paragraf.
Selanjutnya, Klare (1984:726) menyatakan bahwa bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang baik akan memengaruhi pembacanya dalam meningkatkan minat belajar dan daya ingat, menambah kecepatan dan efisiensi membaca, dan memelihara kebiasaan membacanya.
Pada dasarnya, tingkat keterbacaan itu dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu melalui formula keterbacaan dan melalui respons pembaca (McNeill, et.al., 1980; Singer & Donlan, 1980). Formula keterbacaan pada dasarnya adalah instrumen untuk memprediksi kesulitan dalam memahami bacaan. Skor keterbacaan berdasarkan formula ini didapat dari jumlah kata yang dianggap sulit, jumlah kata dalam kalimat, dan panjang kalimat pada sampel bacaan yang diambil secara acak. Formula Flesch (1974), Grafik Fry (1977), dan Grafik Raygor (1984) menggunakan rumus keterbacaan yang hampir sama. Dari ketiga formula itu, Grafik Fry lebih populer dan banyak digunakan karena formulanya relatif sederhana dan mudah digunakan.
Tingkat keterbacaan wacana juga dapat diperoleh dari tes keterbacaan terhadap sejumlah pembaca dalam bentuk tes kemampuan memahami bacaan. Tes itu menguji apa yang disebutkan oleh Bernhardt (1991) sebagai ’enam faktor heuristic dalam pemahaman isi bacaan’. Tiga faktor berkaitan dengan teks (text driven), yaitu pengenalan kata, proses dekoding fonem-grafem, dan pengenalan sintaksis kalimat. Tiga faktor lain berhubungan dengan pengetahuan pembaca (knowledge driven), yaitu intratextual perception, metacognition, dan prior knowledge. Ketiga faktor terakhir itu sifatnya tersembunyi dan tersirat, sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu.
Sementara itu, Gilliland (1972) menyebutkan lima cara mengukur tingkat keterbacaan, yakni penilaian subjektif, tanya jawab, formula keterbacaan, grafik & Carta, dan teknik cloze. Penilaian subjektif dilakukan oleh sejumlah orang tertentu –seperti guru, pustakawan, editor, dan kelompok pembaca berdasarkan pengamatan atas isi, pola, kosakata, format dan pengorganisasian suatu bacaan. Oleh karena sifatnya subjektif, keabsahan hasil penilaiannya bergantung pada keandalan para penilai. Jika penilai memiliki pengetahuan yang memadai tentang aspek-aspek keterbacaan, maka hasil penilaian biasanya memiliki validitas yang baik.
Penelitian tentang keterbacaan buku sudah berlangsung sejak tahun 1920-an, antara lain dilakukan oleh Lively dan Pressey yang menemukan formula keterbacaan berdasarkan struktur kata dan kalimat serta makna kata yang diukur dari frekuensi dan kelaziman pemakaiannya (Klare, 1984). Dale (dalam Tarigan, 1985) meneliti jumlah kosakata yang digunakan oleh anak-anak pembelajar pemula di Amerika Serikat. Sebanyak 1500 kata telah dikuasai mereka, terutama kosakata yang berhubungan dengan kata-kata yang digunakan sehari-hari. Memasuki tahun kedua, para siswa itu telah menguasai kosakata sejumlah 3000 kata. Penambahan kosakata setiap tahun sekitar 1000 kata, sehingga jumlah kosakata rata-rata bagi lulusan SMA sekitar 14000 kata, dan bagi mahasiswa sekitar 18000 sampai 29000 kata (Harris & Sipay dalam Zuchdi, 1995).
Hasil studi keterbacaan yang dilaksanakan oleh Tim Pusat Perbukuan tahun 2003-2004 menyimpulkan bahwa ciri-ciri penting dari suatu buku teks pelajaran untuk sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi dapat dilihat dari penggunaan aspek wacana, paragraf, kalimat, pilihan kata, dan pertanyaan atau latihan-latihan dalam buku teks pelajaran tersebut. Berdasarkan kajian terhadap aspek wacana, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi untuk siswa kelas satu sampai dengan kelas tiga jika disajikan dengan menggunakan wacana narasi, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam disajikan dengan menggunakan wacana deskripsi.
Berdasarkan kajian terhadap aspek paragraf dari penelitian itu, diketahui bahwa buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi adalah buku pelajaran yang disajikan dengan menggunakan paragraf-paragraf deduktif. Paragraf induktif dapat digunakan dalam meningkatkan pemahaman siswa kelas empat, lima, dan enam jika digunakan dalam wacana narasi.
Berdasarkan kajian terhadap aspek kalimat, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi bagi siswa kelas dua dan tiga adalah jika kalimat-kalimat yang digunakannya berupa kalimat sederhana, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam dapat menggunakan kalimat luas yang dapat meningkatkan pemahamannya secara lebih baik. Jika wacana yang digunakannya adalah wacana argumentasi, maka kalimat-kalimat sederhana dalam wacana tersebut dapat meningkatkan keterbacaan suatu buku pelajaran.
Berdasarkan kajian terhadap aspek penggunaan kata atau pilihan kata maka buku pelajaran sekolah dasar untuk siswa kelas satu sampai dengan tiga yang memiliki keterbacaan tinggi jika pada buku tersebut digunakan kosakata sederhana, memiliki sukukata sederhana, dan kosakatanya berhubungan dengan konteks social siswa. Penggunaan kosakata dalam buku pelajaran untuk siswa kelas empat sampai dengan enam sebaiknya menghindari penggunaan istilah-istilah khusus, asing atau bermakna konotatif.
Berdasarkan kajian terhadap pertanyaan bacaan atau latihan dalam buku teks pelajaran, diketahui bahwa buku pelajaran untuk sekolah dasar kelas satu sampai dengan kelas tiga sebaiknya menggunakan pertanyaan bacaan berbentuk isian terbatas, rumpang kata, atau melengkapi sebuah kata dalam konteks kalimat. Sementara itu, pertanyaan atau latihan untuk siswa kelas empat sampai dengan kelas enam dapat menggunakan pertanyaan, perintah, atau latihan yang menuntut pengembangan kemampuan berpikir logis dan kemampuan berpikir abstrak.
Dalam kaitan dengan pengukuran keterbacaan suatu bacaan atau buku teks pelajaran untuk sekolah dasar maka dapat dinyatakan bahwa formula SMOG dapat digunakan untuk memprediksi kesesuaian peruntukan suatu bacaan sebelum bacaan tersebut digunakan sebagai bahan ajar kepada para siswa sekolah dasar. Formula ini cukup sederhana dan dapat digunakan untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang paling sedikit terdiri atas 10 kalimat.
Pengukuran ahli atau guru terhadap keterbacaan suatu bahan bacaan hanya dapat dilakukan jika penilai (assessor) menguasai materi pelajaran yang akan diukur dan menguasai pula aspek-aspek kebahasaan yang digunakan dalam bacaan tersebut. Hasil pengukuran ini dapat digunakan untuk memprediksi tingkat keterbacaan, sebelum digunakan sebagai bahan ajar kepada peserta didik.
Pengukuran keterbacaan berdasarkan kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan pertanyaan bacaan merupakan pengukuran yang realistis. Hasil pengukuran dengan cara ini menghasilkan keterbacaan yang sesuai dengan hasil pengukuran dari formula SMOG dan penilaian ahli. Pengukuran jenis ini dianggap hasil pengukuran yang paling sesuai, karena dilakukan secara langsung kepada siswa sebagai pemakainya. Hasil pengukuran ini dapat digunakan sebagai indikator dari suatu bacaan yang memiliki keterbacaan tinggi.
7. Bahasa Indonesia dalam Keterbacaan Buku Teks Pelajaran
Berdasarkan kajian terhadap karakteristik siswa SD/MI yang ditinjau dari:
(1) jenis buku teks pelajaran yang digunakan (Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial);
(2) kewilayahan (Indonesia bagian Barat dan Timur);
(3) tingkatan pendidikan (kelas rendah/kelas 1 dan 2 dibandingkan dengan kelas tinggi, kelas 3,4,5, dan 6); serta (3) berdasarkan jenis kelamin siswa (laki-laki dan perempuan) diketahui informasi perkembangan bahasa Indonesia dalam kajian keterbacaan buku teks pelajaran terstandar. Selain itu, diperoleh pula informasi menarik tentang profil pengguna bahasa Indonesia dalam kegiatan berbahasa
8. Keterbacaan Berdasarkan Karakteristik Siswa
Dalam melakukan interaksi antara bacaan (berbahasa Indonesia) berdasarkan keterpahaman kosakata, kalimat, paragraf, jenis teks/bacaan; kemenarikan buku teks pelajaran; dan kemudahan dalam memahami sistematika penyajian diketahui sebagai berikut.
(a) Keterpahaman Kosakata
Pemahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan kosakata dalam buku teks pelajaran bergantung pada pengenalan mereka terhadap kosakata itu. Artinya, pemahaman mereka akan baik jika kosakata yang digunakan dalam buku Bahasa Indonesia, Sains, dan Pengetahuan Sosial itu secara berurutan sering didengar (21,40%), kosakata tersebut sudah dikenal (20,42%), dan sering digunakan (16,22%). Ini menunjukkan bahwa kondisi siswa SD pada umumnya memahami kosakata itu karena mereka sering mendengar, mengenal, dan sering menggunakan kosakata tersebut. Namun demikian, khusus untuk mata pelajaran Matematika justru tingkat pemahaman siswa terhadap kosakata yang digunakan karena kosakata tersebut sudah dikenal (23,0%) oleh mereka dalam kehidupan sehari-hari.
(b) Keterpahaman Kalimat
Pemahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan kalimat dalam buku teks pelajaran bergantung pada keintiman kalimat tersebut dengan siswa. Artinya, jika kalimat-kalimat itu sudah sering dikenal oleh siswa maka akan semakin tinggi keterbacaan buku teks pelajaran tersebut. Namun, berbeda dengan hal ini, secara khusus untuk pelajaran Matematika suatu teks memiliki keterbacaan tinggi apabila kalimat tersebut disajikan secara efektif, lugas, jelas dan mengungkapkan makna atau tujuan yang dimaksudkan kalimat tersebut. Hal ini pula yang menjadi penentu kedua dari tingkat keterbacaan buku teks pelajaran.
Hal yang harus diperhatikan bahwa keterbacaan buku teks pelajaran ditentukan pula oleh kesederhanaan kalimat yang digunakan. Semakin sederhana kalimat yang disusun dalam buku teks pelajaran maka akan semakin tinggi pula keterbacaan buku teks tersebut. Apabila dalam buku teks tersebut digunakan kalimat yang sulit atau belum dikenal siswa, maka keterbacaannya menjadi rendah. Namun, akan menjadi tinggi keterbacaannya jika kalimat tersebut diikuti dengan kalimat-kalimat atau uraian yang berfungsi sebagai penjelas serta kalimat tersebut sering didengar oleh para siswa, terutama pada mata pelajaran Pengetahuan Sosial.
(c) Keterpahaman Paragraf
Pemahaman siswa sekolah dasar terhadap penggunaan paragraf dalam buku teks pelajaran bergantung pada letak gagasan utama dalam paragraf tersebut. Apabila dalam suatu paragraf menempatkan gagasan utama pada awal paragraf maka siswa lebih dapat memahami paragraf tersebut. Artinya, paragraf-paragraf yang disusun dengan menempatkan gagasan pokok atau pikiran utama pada awal paragraf lebih dapat dipahami siswa makna paragraf tersebut dan memiliki keterbacaan tinggi. Tingkat keterbacaan juga sangat ditentukan oleh ketersediaan gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut. Dengan demikian, selain menempatkan pikiran utama atau gagasan utama pada awal paragraf, kehadiran gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut dapat mempertinggi keterpahaman siswa terhadap paragraf yang digunakan.
(d) Keterpahaman Bacaan
Pada umumnya teks atau wacana yang digunakan dalam buku terstandar nasional dapat dipahami (64,55% atau 373 responden). Apabila ditinjau berdasarkan bentuk-bentuk wacana yang digunakan dikaitkan dengan karakteristik bacaan yang dianggap mudah dipahami siswa ditemukan bahwa alasan suatu teks/bacaan mudah dipahami jika bacaan tersebut disajikan dengan menggunakan bentuk wacana eksposisi dan narasi atau argumentasi.
Hal yang sangat menarik adalah jika ditinjau berdasarkan jenis mata pelajaran, diketahui bahwa kelompok mata pelajaran eksakta (Matematika dan Sains) bacaan yang mudah dipahami jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi dan argumentasi, sedangkan untuk kelompok mata pelajaran sosial (Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Sosial) jika disajikan dengan menggunakan wacana narasi dan eksposisi.
Apabila ditinjau berdasarkan tingkatan pendidikan, diketahui bahwa tingkat kemudahan dalam memahami teks/bacaan, maka berdasarkan siswa kelas rendah (1-2) suatu bacaan dianggap mudah dipahami jika bacaan tersebut disajikan dengan menggunakan wacana narasi dan eksposisi, sedangkan menurut kelas tinggi jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi dan argumentasi.
Berdasarkan klasifikasi jender responden, diketahui bahwa menurut siswa perempuan suatu teks mudah dipahami jika disajikan dengan menggunakan jenis wacana narasi dan eksposisi, sedangkan menurut siswa laki-laki jika disajikan dengan menggunakan wacana eksposisi, narasi, dan argumentasi.
(e) Kemenarikan Penyajian Buku Teks Pelajaran
Berdasarkan kajian diketahui bahwa buku teks terstandar pada umumnya sangat menarik yang diungkapkan oleh 97% siswa yang menjadi responden. Adapun ketika dikonfirmasi kepada siswa alasan pernyataan tersebut dinyatakan bahwa buku teks pelajaran terstandar menarik karena menggunakan gambar atau ilustrasi yang memperjelas isi materi yang disajikan dan menggunakan huruf/bacaan yang jelas dan terbaca, serta bahasa yang mudah dipahami.
Kemenarikan buku teks pelajaran terstandar jika ditinjau berdasarkan karakteristik responden, alasan tersebut hampir sama, kecuali ketika responden diklasifikasikan berdasarkan tingkatan kelas. Responden kelas tinggi (kelas 3-6) menyatakan bahwa kemenarikan buku teks pelajaran terstandar adalah karena disajikan dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan menggunakan jilid dan gambar berwarna, sedangkan menurut responden kelas rendah (1-2) karena menggunakan gambar yang memperjelas isi dan menggunakan huruf yang terbaca dan jelas.
(f) Kemudahan Memahami Sistematika Penyajian
Berdasarkan sistematika penyajian buku teks pelajaran terstandar diketahui bahwa pada umumnya buku teks pelajaran itu mudah dipahami karena penyajian suatu materi tersebut disertai gambar, dikaitkan dengan pengetahuan siswa, dan disesuaikan dengan pengalaman siswa. Namun, apabila ditinjau berdasarkan jenis pelajaran diperoleh informasi bahwa penyajian buku teks pelajaran Bahasa Indonesia mudah dipahami karena materinya disesuaikan dengan pengalaman siswa. Penyajian buku teks pelajaran Pengetahuan Sosial dan Sains dianggap mudah dipahami karena penyajian materinya disertai gambar. Sementara itu, buku teks pelajaran Matematika dianggap mudah dipahami karena penyajian materi dalam buku tersebut dikaitkan dengan pengetahuan siswa.
http://read-herli.blogspot.com/2008/11/keterbacaan-buku-teks-pelajaran.html
9. Keterbacaan Berdasarkan Penilaian Guru
Berdasarkan pengalaman guru dalam menggunakan buku teks pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial diketahui bahwa rata-rata keterbacaan buku teks pelajaran Bahasa Indonesia memiliki tingkat keterbacaan sebesar 3,52. Buku teks pelajaran Matematika memiliki tingkat keterbacaan sebesar 3,71. Buku teks pelajaran Sains memiliki tingkat keterbacaan sebesar 3,68. Buku teks pelajaran Pengetahuan Sosial memiliki tingkat keterbacaan sebesar 3,22. Keterbacaan buku teks pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial berdasarkan penilaian guru-guru yang mengajar di wilayah Indonesia bagian Barat diketahui bahwa rata-rata keterbacaan buku teks pelajaran berstandar sebesar 3,67 sedangkan guru-guru di wilayah Indonesia bagian Timur 3,50.
Para guru memberikan penilaian terhadap keterbacaan buku teks pelajaran sekolah dasar yang berstandar dengan skor rata-rata sebesar 3,58 dari skor ideal 5,0. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum para guru menyatakan bahwa buku teks pelajaran berstandar memiliki kualitas keterbacaan yang tinggi. Hal ini dapat diketahui dari skor rata-rata nilai keterbacaan yang diberikan guru berkaitan dengan pengalamannya dalam kegiatan pembelajaran, pada umumnya di atas skor rata-rata nilai keterbacaan. Hanya penilaian ini dianggap kurang komprehensif karena dilakukan berdasarkan buku-buku Sekolah Dasar berstandar nasional yang digunakan di sekolah tersebut.
Hasil penilaian yang dilakukan guru ini selanjutnya dilakukan justifikasi oleh peneliti melalui desk study dengan melakukan random sampling terhadap 37 buku teks pelajaran Sekolah Dasar yang berstandar nasional. Berdasarkan kajian desk study diketahui bahwa rata-rata keterbacaan buku-buku teks pelajaran berstandar untuk Sekolah Dasar memiliki nilai 3,45. Dengan demikian, skor rerata ini tidak berbeda jauh dengan penilaian yang dilakukan guru atau tidak memiliki bias yang terlalu jauh.
Berdasarkan kajian ini diketahui bahwa pada umumnya buku teks pelajaran berstandar belum dilengkapi dengan buku Pedoman Pendidik, sehingga skor yang berhubungan dengan aspek tersebut sangat kurang. Demikian pula dengan kriteria buku yang dilengkapi dengan work book, pada umumnya buku berstandar tidak dilengkapi dengan buku kerja.
10. Profil Membaca Siswa
Profil membaca siswa yang berinteraksi dengan buku teks pelajaran terstandar (pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial) adalah sebagai berikut:
(a) Keragaman dalam kegiatan membaca di luar jam pelajaran yang dilakukan siswa masih kurang. Bacaan yang dibaca setiap hari oleh siswa kelas 1-2 adalah buku komik dan judul-judul acara televisi terutama dilakukan oleh siswa laki-laki/perempuan kelas 3-6. Namun, siswa kelas 3-6 pun pada umumnya setiap hari membaca buku teks pelajaran. Bacaan fiksi (cerita) hampir tidak pernah dibaca oleh siswa 1-2 dan siswa laki-laki kelas 3-6, demikian pula diketahui bahwa khusus kelas 3-6 pada umumnya tidak pernah membaca informasi dari internet. Bacaan yang dibaca sekali dalam seminggu pada umumnya berupa majalah atau koran. Selain itu, jenis bacaan yang dibaca sekali saja dalam seminggu oleh siswa putri kelas 1-2 dan siswa kelas 3-6 adalah komik, buku pelajaran dibaca sekali dalam seminggu oleh siswa kelas 1-2, dan siswa putri kelas 3-6 membaca buku cerita pada umumnya dilakukan hanya sekali saja dalam seminggu.
(b) Kegiatan membaca atau membaca kembali buku teks pelajaran di luar jam pelajaran sekolah dilakukan para siswa masih rendah. Kegiatan membaca dan membaca kembali buku teks pelajaran di luar jam pelajaran sekolah memiliki kekerapan lebih kecil dibandingkan dengan kekerapan mereka menonton televisi. Hal ini berarti bahwa kegiatan menonton televisi yang dilakukan siswa lebih dominan dilakukan daripada kegiatan membaca atau membaca kembali buku teks pelajaran di luar jam pelajaran sekolah. Hal yang sangat menarik diketahui bahwa dalam menonton televisi siswa kelas 1-2 perempuan dan siswa kelas 3-6 laki-laki lebih banyak daripada siswa laki-laki kelas 1-2 dan perempuan kelas 3-6. Dalam hal membaca fiksi (cerita pendek/novel, puisi, atau drama) pun masih sedikit dilakukan. Kegiatan membaca buku jenis fiksi ini pada umumnya dilakukan sekali-sekali saja dengan jumlah waktu yang lebih sedikit daripada kegiatan mereka menonton televisi. Demikian pula dengan membaca informasi dari koran, majalah, atau bacaan di internet (khusus kelas 4-6) masih sangat sedikit dilakukan oleh para siswa.
Dari penelitian keterbacaan buku teks pelajaran untuk Sekolah Dasar dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Sains, dan Pengetahuan Sosial diperoleh simpulan sebagai berikut:
(1) Dalam melakukan studi tentang profil membaca siswa Sekolah Dasar yang berinteraksi dengan buku teks pelajaran berstandar, diketahui bahwa:
(a) Kegiatan membaca yang dilakukan peserta didik setiap hari di luar jam pelajaran sekolah untuk kelas 1-2 adalah membaca komik dan untuk kelas 3-6 adalah acara-acara televisi dan membaca buku teks pelajaran. Siswa kelas 1-2 pada umumnya membaca kembali buku pelajaran sekali saja dalam seminggu. Peserta didik hampir tidak pernah membaca informasi dari internet dan fiksi (buku cerita rekaan), kecuali siswa perempuan kelas 3-6 yang membaca fiksi sekali dalam seminggu. Kegiatan membaca informasi dari majalah atau koran pada umumnya dilakukan sekali saja dalam seminggu.
(b) Kegiatan membaca yang dilakukan peserta didik di luar jam pelajaran sekolah memiliki porsi lebih rendah daripada menonton televisi, terutama yang dilakukan oleh siswa perempuan kelas 1-2 dan siswa laki-laki kelas 3-6. Berdasarkan kekerapannya diketahui bahwa membaca buku jenis fiksi, informasi dari koran, majalah, dan internet cenderung dilakukan sekali-sekali saja, dengan porsi yang lebih rendah daripada menonton televisi.
(2) Keterbacaan buku teks pelajaran berstandar bergantung pada keterpahaman kosakata, kalimat, paragraf dan jenis bacaan yang digunakan; kemenarikan penyajian buku tersebut; dan kemudahan menggunakan sistematika penyajian materi.
(a) Keterpahaman kosakata dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh seringnya kosakata tersebut didengar dan sudah dikenal oleh siswa. Keterpahaman kalimat dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh tingkat keintiman dan kesederhanaan kalimat tersebut bagi siswa, jika kalimat-kalimat dalam buku teks sudah sering dikenal oleh siswa atau disajikan dengan susunan yang sederhana maka keterbacaan buku teks pelajaran tersebut semakin tinggi. Keterpahaman paragraf dalam buku teks pelajaran ditentukan oleh letak pikiran utama atau gagasan pokok yang disajikan pada awal paragraf dan ketersediaan gambar atau ilustrasi yang mengiringi paragraf tersebut. Keterpahaman teks atau bacaan buku berstandar pada umumnya tinggi, karena menggunakan jenis wacana narasi, eksposisi, dan argumentasi. Keterpahaman bacaan dalam buku teks pelajaran eksakta (Matematika dan Sains) tinggi jika menggunakan jenis wacana eksposisi dan argumentasi, sedangkan mata pelajaran sosial (Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Sosial) menggunakan jenis wacana narasi dan eksposisi.
(b) Kemenarikan penyajian buku-buku teks pelajaran berstandar adalah sangat tinggi, karena menggunakan gambar atau ilustrasi yang memperjelas isi materi yang disajikan dan menggunakan huruf atau bacaan yang jelas dan terbaca, serta bahasa yang mudah dipahami. Buku teks pelajaran yang menggunakan bahasa yang mudah dipahami, menggunakan jilid atau gambar berwarna, menggunakan gambar dan ilustrasi yang dapat memperjelas isi, serta menggunakan huruf yang terbaca dan jelas memiliki daya tarik yang menentukan keterbacaan buku tersebut.
(c) Kemudahan dalam memahami sistematika penyajian pun turut menentukan keterbacaan buku teks pelajaran berstandar. Kemudahan dalam memahami itu karena penyajian suatu materi tersebut disertai gambar, dikaitkan dengan pengetahuan siswa, dan disesuaikan dengan pengalaman siswa sebagai pengguna buku.
(3) Keterbacaan buku teks pelajaran sekolah dasar berstandar berdasarkan penilaian guru yang dihubungkan dengan pembelajaran, diketahui memiliki keterbacaan tinggi (3,58 dari 5,0). Pada umumnya buku teks pelajaran belum dilengkapi dengan panduan pendidik dan buku kerja sebagai pendukung bagi kegiatan pembelajaran.
11. TIPS Membaca Lebih Cepat
Phillips, Ann Dye and Peter Elias Sotiriou. Steps to Reading Proficiency. 3rd Edition.
Belmont, California: Wadsworth, 1992.
TIPS 1
Tinggalkan cara mebaca dengan lisan (100-300 wpm), lakukanlah dengan hati (> 800 wpm).
TIPS 2
Gunakan pengetahuan bahasa Indonesia Anda, seperti pola kalimat, logika berpikir, kata perangkai kalimat, dan kata kunci (keywords), sebaliknya hindari kata-kata tugas karena tidak penting untuk pemahaman. Cara ini menghemat 10-50 % kata-kata yang tidak penting.
TIPS 3
Gunakan gerakan mata, bukan gerakan kepala secara efektif untuk menghemat waktu beberapa detik lagi.
TIPS 4
Terapkan pengetahuan membaca yang Anda dapat, pertama previewing, scanning, dan skimming.
TIPS 5
Biasakan diri dengan deadline waktu. Adanya tekanan waktu (time pressure) akan membantu Anda untuk lebih konsentrasi pada materi bacaan.
TIPS 6
. Jika kelima Tips di atas tidak berhasil membantu Anda secara drastis, mulailah memacu tingkat pembacaan Anda dengan mengunakan alat. Gunakan jari anda dengan cara memindahkan dari kiri ke kanan secara cepat per baris. Cara ini efektif kalau Anda ingin menghendaki per baris, jika tidak langkaui dari atas ke bawah menurut keyword atau kalimat topik. Cara ini umumnya menaikkan kecepatan baca hingga 400-800 wpm.
Jika Anda puas, cara terbaik membaca adalah dengan mata dan otak (konsentrasi), bukan dengan lisan (bicara), gerakan kepala, atau memakai jari. Slogan yang perlu diingat: "Bacalah ide pada teks, bukan kata-kata
elisa.ugm.ac.id/files/Arimi-Sailal/P1K1vgdE/BACA%20CEPAT%20VERSI%20BAHASA%20INDONESiA
12. menentukan teks keterbacaan
Ada tiga cara yang biasa dipakai untuk menentukan keterbacaan teks, yaitu dengan menggunakan intuisi, formula keterbacaan atau cloze test. Artikel ini membahas penggunaan formula keterbacaan untuk memprediksi tingkat keterbacaan teks. Pembahasan mencakup : pengertian keterbacaan, penggunaannya dalam berbagai bidang ilmu dan penjabaran pendapat pro keterbacaan. keterbacaan (readability) menyatakan tingkat kemudahan / kesukaran sebuah teks untuk dipahami maksudnya. Keterbacaan antara lain ditentukan oleh bahasa, tata huruf, kerapatan baris, lebar pinggir, unsur tata rupa yang lain, kosa kata dan struktur kalimat yang dipilih pengarang. Artikel ini hanya membahas tentang keterbacaan teks yang berhubungan dengan bahasa, bukan rupa tulisannya. Teks ada yang rendah dan yang tinggi keterbacaannya. teks yang tinggi keterbacaannya lebih mudah dipahami daripada yang rendah. Kesulitan memahami teks yang dimaksud di sini berkaitan dengan bacaan nas, dan tidak ada hubungannya dengan isi yang sukar dicerna. Oleh sebab itu keterbacaan teks tidak ditentukan oleh unsur bahasanya saja, ettapi juga oleh rupa tulisannya, yakni oleh taat huruf atau tipogarfinya.
http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&id=47772&src=a
Intuisi
http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/11/intuisi.html
Intuisi adalah istilah untuk kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas. Sepertinya pemahaman itu tiba-tiba saja datangnya dari dunia lain dan diluar kesadaran. Misalnya saja, seseorang tiba-tiba saja terdorong untuk membaca sebuah buku. Ternyata, didalam buku itu ditemukan keterangan yang dicari-carinya selama bertahun-tahun. Atau misalnya, merasa bahwa ia harus pergi ke sebuah tempat, ternyata disana ia menemukan penemuan besar yang mengubah hidupnya. Namun tidak semua intuisi berasal dari kekuatan psi. Sebagian intuisi bisa dijelaskan sebab musababnya.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang berada dalam jajaran puncak bisnis atau kaum eksekutif memiliki skor lebih baik dalam eksperimen uji indera keenam dibandingkan dengan orang-orang biasa. Penelitian itu sepertinya menegaskan bahwa orang-orang sukses lebih banyak menerapkan kekuatan psi dalam kehidupan keseharian mereka, halmana menunjang kesuksesan mereka. Salah satu bentuk kemampuan psi yang sering muncul adalah kemampuan intuisi. Tidak jarang, intuisi yang menentukan keputusan yang mereka ambil.
Sampai saat ini dipercaya bahwa intuisi yang baik dan tajam adalah syarat agar seseorang dapat sukses dalam bisnis. Oleh karena itu tidak mengherankan jika banyak buku-buku mengenai kiat-kiat sukses selalu memasukkan strategi mempertajam intuisi.
13. Langkah-langkah Meneliti Keterbacaan
Berikut adalah beberapa langkah dalam meneliti keterbacaan suatu teks bacaan :
1. Mencari bahan berupa teks bacaan dari buku pelajaran siswa sekolah mengah.
2. Bahan berupa teks tersebut kemudian disamarkan dengan menghilangkan sebagian kata dalam teks. Dalam hal ini kami menghilangkan kata kelima dari setiap lima kata dalam teks bacaan.
3. Mencari populasi siswa sebagai objek penelitian.
4. Meminta para siswa mengisi bagian-bagian yang kosong dalam teks bacaan dengan kata yang paling tepat untuk mereka.
5. Menilai hasil pekerjaan siswa terhadap bahan bacaan.
6. Merumuskan hasil pekerjaan para siswa sehingga akhirnya didapatkan hasil penelitian dan tingkat keterbacaan suatu teks bacaan dengan rumus.
14 . Beberapa Hasil Penelitian Keterbacaan
Penelitian tentang keterbacaan buku sudah berlangsung sejak tahun 1920-an, antara lain dilakukan oleh Lively dan Pressey yang menemukan formula keterbacaan berdasarkan struktur kata dan kalimat serta makna kata yang diukur dari frekuensi dan kelaziman pemakaiannya (Klare, 1984). Dale (dalam Tarigan, 1985) meneliti jumlah kosakata yang digunakan oleh anak-anak pembelajar pemula di Amerika Serikat. Sebanyak 1500 kata telah dikuasai mereka, terutama kosakata yang berhubungan dengan kata-kata yang digunakan sehari-hari. Memasuki tahun kedua, para siswa itu telah menguasai kosakata sejumlah 3000 kata. Penambahan kosakata setiap tahun sekitar 1000 kata, sehingga jumlah kosakata rata-rata bagi lulusan SMA sekitar 14000 kata, dan bagi mahasiswa sekitar 18000 sampai 29000 kata (Harris & Sipay dalam Zuchdi, 1995).
Sementara itu, Leon Verlee (dalam Wojowasito, 1976) menyebutkan bahwa kebanyakan dari kita hanya menggunakan 2000 kata, di luar sejumlah kata fungsi dan istilah istilah praktis yang khas bagi lingkungannya. Walaupun demikian, biasanya kita tidak menemui kesulitan kesulitan yang berarti dalam membicarakan dan mengolah persoalan persoalan keseharian, persoalan keluarga, pekerjaan, dan alam sekitarnya. Kaum intelektual sendiri menggunakan lebih banyak perkataan, tetapi tidak lebih dari 4000 sampai dengan 5000 perkataan. Piere Guiraud yang mengadakan penelitian jumlah kata yang dipergunakan oleh para pengarang, mengambil kesimpulan bahwa jumlah perkataan yang biasa dipergunakan oleh para pengarang berkisar antara 3000-4000 perkataan saja. Penelitian penelitian yang dilakukan oleh T.U. Yule, E. Epstein, G. Herdan, dan B.J.M. Quemada, misalnya, menguatkan pendapat Guiraud yaitu bahwa kebanyakan pengarang mempergunakan perkataan di bawah jumlah 4000 kata namun hal itu bagi mereka tidaklah menjadikan halangan untuk mengolah, menulis, membicarakan segala persoalan yang paling berbeda dan paling kompleks sekalipun (Wojowasito, 1976).
Penggunaan kosakata dalam buku pelajaran antara lain diteliti oleh Dale and Razik (1973) dan Petty, Herold, and Stall (1968). Seperti dilaporkan oleh Zuchdi (1995) bahwa buku teks pelajaran terlalu banyak memuat kata-kata teknis yang jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu masih banyak konsep yang sukar untuk anak-anak jenjang sekolah menengah dan umumnya tidak lazim untuk digunakan dalam buku teks pelajaran. Penelitian yang dilakukan Zuchdi (1997) tentang jumlah kosakata dalam buku paket bahasa Indonesia menyebutkan bahwa kosakata yang digunakan di SD rata-rata berjumlah 8000 kata, terdiri atas kata dasar, kata berimbuhan, kata majemuk, dan kata ulang. Penambahan setiap tahunnya kira-kira 1000 kata.
Menurut Wahjawidodo (1985), penggunaan kata tunggal, kata kompleks, kata ulang, dan kata majemuk dalam buku pelajaran sekolah dasar masih banyak digunakan, sebagian dapat dengan mudah dipahami, tetapi sebagian besar lainnya sukar dicerna. Kata berimbuhan yang terbentuk dari kata dasar, baik awalan, akhiran, maupun gabungan awalan dan akhiran, juga tidak menimbulkan kesulitan.
Panjang kalimat juga dipercaya sebagai faktor utama dalam menentukan pemahaman kalimat, sehingga biasanya dijadikan alat ukur tingkat keterbacaan sebuah wacana dan faktor penentu dalam rumus-rumus keterbacaan. Flesch (1974) misalnya menyebutkan bahwa jumlah kalimat (bahasa Inggris) kurang dari delapan kata akan memudahkan pembacanya untuk memahami bacaan. Standar panjang kalimat adalah antara 14 sampai dengan 17 kata; sedangkan penggunaan lebih dari 25 kata sudah terlalu sukar untuk dipahami.
Tallei (1988) melaporkan hasil penelitiannya bahwa tingkat keterbacaan buku pelajaran itu berkaitan erat dengan keterpaduan dan keruntutan wacananya; sedangkan Suhadi (1996) mengatakan bahwa keterbacaan buku Energi Gelombang dan Magnet (EGM) dan Sejarah Nasional Indonesia (SNI) masing-masing 57% untuk EGM dan 45% untuk SNI.
Tingkat keterbacaan itu berkaitan erat dengan kemampuan pembacanya. Tingkat literasi awal dalam kemampuan membaca seperti yang dilakukan oleh studi PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) menunjukkan bahwa siswa kita masih menghadapi kendala dalam membaca. PIRLS adalah suatu studi kemampuan membaca yang dirancang untuk mengetahui kemampuan anak sekolah dasar dalam memahami bermacam ragam bacaan. Penilaian difokuskan pada dua tujuan membaca yang sering dilakukan anak-anak, yaitu membaca cerita sastra dan membaca untuk memperoleh informasi. Pada studi tahun 1999 diketahui bahwa keterampilan membaca kelas IV Sekolah Dasar kita berada pada tingkat terendah di Asia Timur, seperti dapat dilihat dari perbandingan skor rata-rata berikut ini: 75.5 (Hong Kong), 74.0 (Singapura), 65.1 (Thailand), 52.6 (Filipina), dan 51.7 (Indonesia). Studi ini juga melaporkan bahwa siswa Indonesia hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan karena mereka mengalami kesulitan dalam menjawab soal-soal bacaan yang memerlukan pemahaman dan penalaran. Studi tahun 2006 sudah dilakukan tetapi hasilnya baru dapat diperoleh pada tahun berikutnya.
Studi kemampuan membaca lainnya adalah PISA (Programme for International Student Assessment) yang bertujuan meneliti secara berkala tentang kemampuan siswa usia 15 tahun (kelas III SMP dan Kelas I SMA) dalam membaca, matematika, dan sains. PISA mengukur kemampuan siswa pada akhir usia wajib belajar untuk mengetahui kesiapan siswa menghadapi tantangan masyarakat-pengetahuan (knowledge society) dewasa ini. Penilaian yang dilakukan dalam PISA berorientasi ke masa depan, yaitu menguji kemampuan untuk menggunakan keterampilan dan pengetahuan mereka dalam menghadapi tantangan kehidupan nyata, tidak semata-mata mengukur kemampuan yang dicantumkan dalam kurikulum sekolah.
Hasil studi tahun 2000 mengungkapkan bahwa literasi membaca siswa Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan siswa yang ada di manca negara. Dari 42 negara yang disurvey, siswa Indonesia menduduki peringkat ke-39, sedikit di atas Albania dan Peru. Kemampuan siswa kita itu masih di bawah siswa Thailand (peringkat ke-32). Pada PISA 2003 (Matematika), dengan total nilai 360, siswa Indonesia berada pada posisi terbawah sampai ketiga dari bawah.
Sejalan dengan kemampuan membaca di atas, rupanya kemampuan matematika dan sains siswa kita juga tidak terlalu menggembirakan. TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) merupakan suatu studi internasional untuk kelas 4 dan 8 dalam bidang Matematika dan Sains. Pada tahun 1999, hasil studi ini menunjukkan bahwa di antara 38 negara peserta, prestasi siswa SMP kelas 8 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk sains dan ke-34 untuk Matematika.
Hasil dari ketiga studi internasional tersebut memang belum memuaskan. Dalam kemampuan membaca yang menjadi dasar bagi pengembangan diri di masa yang akan datang, kita tentu menghadapi tantangan luar biasa karena hanya 0.1 persen siswa yang dapat mencapai tingkat literasi tertinggi, sementara 63.2 persen berada pada tingkat kemampuan yang sangat rendah. Para siswa ini tentu memiliki kemampuan membaca, tetapi mereka menunjukkan kesulitan yang serius dalam menerapkan kemampuan membacanya sebagai alat untuk membantu dan memperluas pengetahuan dan keterampilan dalam bidang yang mereka minati.
Seperti dilaporkan dalam PISA (2000) kemampuan membaca ini berkaitan erat dengan kebiasaan membaca, yaitu berapa lama para siswa itu membaca setiap harinya, (2) bahan bacaan apa saja mereka baca (majalah, buku fiksi, non-fiksi, komik, buku pelajaran, atau surat kabar), dan (3) sikap membaca.
Sikap membaca berkaitan dengan sikap apakah mereka hanya membaca kalau ditugaskan guru, membaca hanya untuk mendapatkan informasi yang diperlukan, membaca itu adalah hobi, membaca buku dan kemudian mendiskusikannya dengan teman atau orang lain, ketagihan untuk membaca banyak buku, bergembira mendapatkan hadiah buku, suka pergi ke toko buku atau perpustakaan, tidak biasa duduk tanpa membaca, atau membaca itu membuang-buang waktu.
Minat membaca dapat diketahui dari respons terhadap pertanyaan apakah membaca itu menyenangkan, apakah mereka membaca pada waktu luang mereka, apakah mereka benar-benar terhanyut (totally absorbed) dalam kegiatan membaca mereka.
Kebiasaan membaca para siswa itu juga dapat disebabkan oleh ketertarikan mereka terhadap materi yang mereka baca. Penelitian PISA menunjukkan bahwa siswa perempuan lebih banyak membaca majalah, komik, buku cerita, dan buku bukan cerita dibandingkan dengan laki-laki. Namun, laki-laki lebih banyak menggunakan e-mail dan membaca koran dibandingkan dengan siswa perempuan. Kecuali untuk kelompok bahan bacaan majalah dan e-mail/web, siswa Indonesia berada di atas rata-rata siswa dari negara-negara OECD.
Dari frekuensi membaca dan ragam bahan bacaan yang dibaca siswa itu, PISA mengelompokkan pembaca itu menjadi empat profil pembaca. Para siswa yang berada di kelompok ke-1 adalah kategori siswa dengan bahan bacaan yang tidak terlalu beragam, hanya membaca surat kabar dan sedikit sekali fiksi atau komik. Kelompok ini memiliki kemampuan membaca yang juga rendah 40 poin skor dibandingkan dengan skor rata-rata. Kelompok ke-2 adalah siswa yang digolongkan membaca agak lebih beragam, yaitu pembaca surat kabar dan majalah. Mereka jarang membaca buku atau komik. Kelompok ke-3 adalah para siswa yang membaca surat kabar, majalah, dan juga buku-buku fiksi dan komik. Siswa dari kelompok ini memiliki tingkat literasi yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok sebelumnya. Siswa kita dilaporkan berada pada kelompok ini, tetapi tingkat kemampuan membacanya tidak sebaik siswa lain dalam kelompok ini. Kelompok ke-4 adalah pembaca yang baik dan sudah memiliki kebiasaan membaca buku, sehingga tingkat kemampuannya lebih tinggi 40 skor dan berada di atas rata-rata kelompok sebelumnya.
Kebiasaan membaca adalah aspek yang mungkin paling lemah dalam masyarakat kita. Budaya kita lebih condong kepada budaya-dengar daripada budaya-baca. Dengan demikian, secara kualitatif, terdapat perbedaan yang besar antara respons siswa kita terhadap jawaban (setuju atau tidak setuju di atas) jika dibandingkan dengan siswa dari negara-negara maju. Ada kemungkinan jawaban yang diberikan siswa kita lebih merupakan ‘keinginan’ daripada kenyataan.
Hasil studi keterbacaan yang dilaksanakan oleh Tim Pusat Perbukuan tahun 2003-2004 menyimpulkan bahwa ciri-ciri penting dari suatu buku teks pelajaran untuk sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi dapat dilihat dari penggunaan aspek wacana, paragraf, kalimat, pilihan kata, dan pertanyaan atau latihan-latihan dalam buku teks pelajaran tersebut. Berdasarkan kajian terhadap aspek wacana, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi untuk siswa kelas satu sampai dengan kelas tiga jika disajikan dengan menggunakan wacana narasi, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam disajikan dengan menggunakan wacana deskripsi.
Berdasarkan kajian terhadap aspek paragraf dari penelitian itu, diketahui bahwa buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi adalah buku pelajaran yang disajikan dengan menggunakan paragraf-paragraf deduktif. Paragraf induktif dapat digunakan dalam meningkatkan pemahaman siswa kelas empat, lima, dan enam jika digunakan dalam wacana narasi.
Berdasarkan kajian terhadap aspek kalimat, maka buku pelajaran sekolah dasar yang memiliki keterbacaan tinggi bagi siswa kelas dua dan tiga adalah jika kalimat-kalimat yang digunakannya berupa kalimat sederhana, sedangkan untuk siswa kelas empat sampai dengan enam dapat menggunakan kalimat luas yang dapat meningkatkan pemahamannya secara lebih baik. Jika wacana yang digunakannya adalah wacana argumentasi, maka kalimat-kalimat sederhana dalam wacana tersebut dapat meningkatkan keterbacaan suatu buku pelajaran.
Berdasarkan kajian terhadap aspek penggunaan kata atau pilihan kata maka buku pelajaran sekolah dasar untuk siswa kelas satu sampai dengan tiga yang memiliki keterbacaan tinggi jika pada buku tersebut digunakan kosakata sederhana, memiliki sukukata sederhana, dan kosakatanya berhubungan dengan konteks social siswa. Penggunaan kosakata dalam buku pelajaran untuk siswa kelas empat sampai dengan enam sebaiknya menghindari penggunaan istilah-istilah khusus, asing atau bermakna konotatif.
Berdasarkan kajian terhadap pertanyaan bacaan atau latihan dalam buku teks pelajaran, diketahui bahwa buku pelajaran untuk sekolah dasar kelas satu sampai dengan kelas tiga sebaiknya menggunakan pertanyaan bacaan berbentuk isian terbatas, rumpang kata, atau melengkapi sebuah kata dalam konteks kalimat. Sementara itu, pertanyaan atau latihan untuk siswa kelas empat sampai dengan kelas enam dapat menggunakan pertanyaan, perintah, atau latihan yang menuntut pengembangan kemampuan berpikir logis dan kemampuan berpikir abstrak.
Dalam kaitan dengan pengukuran keterbacaan suatu bacaan atau buku teks pelajaran untuk sekolah dasar maka dapat dinyatakan bahwa formula SMOG dapat digunakan untuk memprediksi kesesuaian peruntukan suatu bacaan sebelum bacaan tersebut digunakan sebagai bahan ajar kepada para siswa sekolah dasar. Formula ini cukup sederhana dan dapat digunakan untuk mengukur keterbacaan suatu bacaan yang paling sedikit terdiri atas 10 kalimat.
Pengukuran ahli atau guru terhadap keterbacaan suatu bahan bacaan hanya dapat dilakukan jika penilai (assessor) menguasai materi pelajaran yang akan diukur dan menguasai pula aspek-aspek kebahasaan yang digunakan dalam bacaan tersebut. Hasil pengukuran ini dapat digunakan untuk memprediksi tingkat keterbacaan, sebelum digunakan sebagai bahan ajar kepada peserta didik.
Pengukuran keterbacaan berdasarkan kemampuan siswa dalam memahami bacaan dan pertanyaan bacaan merupakan pengukuran yang realistis. Hasil pengukuran dengan cara ini menghasilkan keterbacaan yang sesuai dengan hasil pengukuran dari formula SMOG dan penilaian ahli. Pengukuran jenis ini dianggap hasil pengukuran yang paling sesuai, karena dilakukan secara langsung kepada siswa sebagai pemakainya. Hasil pengukuran ini dapat digunakan sebagai indikator dari suatu bacaan yang memiliki keterbacaan tinggi. http://suherlicentre.blogspot.com/2008/10/hut-70-tahun-profdryus-rusyana.html
Langganan:
Postingan (Atom)